Jakarta Zero: a country covered in ice due to nuclear war (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #7

Pelabuhan Peri Sakti dan Anak-Anak di Garis Depan

Setelah berhari-hari berlayar melintasi laut beku yang berbahaya, perahu nelayan Aksara dan Kirana akhirnya menyentuh daratan. Garis pantai Kalimantan terasa berbeda; salju di sini tidak sekeras dan sekotor di Jakarta, dan ada bau tanah yang lebih kuat, bercampur dengan aroma hutan yang beku.

Aksara menarik perahu ke pasir yang diselimuti es. Energi mereka terkuras habis, tetapi ada rasa lega yang tak terlukiskan. Mereka telah menyeberangi samudra kebohongan.

Kirana membaca peta, memastikan. "Ini... 'Pelabuhan Peri Sakti'," bisiknya. "Kalimantan Selatan. Kita berhasil."

Mereka melihat ke depan. Pelabuhan itu tidak hancur lebur seperti Jakarta. Beberapa bangunan masih berdiri utuh, tetapi diselimuti lapisan es tebal. Ada kesan bahwa kehancuran di sini terjadi lebih teratur, atau setidaknya, tidak sebrutal Jakarta.

Saat mereka melangkah mendekati sebuah gudang pelabuhan yang besar, Aksara merasakan ada sesuatu yang salah. Udara di sini terasa lebih waspada.

Ia menyuruh Kirana diam. Mereka bersembunyi di balik tumpukan kayu yang membeku.

Dari dalam gudang, terdengar suara tawa. Bukan tawa yang jahat, melainkan tawa yang tulus dan kekanak-kanakan.

Dua sosok keluar dari pintu gudang. Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, keduanya tampak seumuran dengan mereka.

Anak laki-laki itu memiliki kulit sawo matang khas Indonesia, rambut ikal, dan mengenakan pakaian tebal berwarna hijau tua. Ia membawa parang kecil di pinggangnya, yang ia ayunkan santai.

Anak perempuan itu memiliki mata yang cerdas dan bergerak lincah. Pakaiannya lebih bersih dari Aksara dan Kirana. Ia memegang sebuah radio komunikasi usang.

"Jadi, kita akan menukar ikan beku ini dengan baterai?" tanya anak laki-laki itu, suaranya terdengar optimis.

Anak perempuan itu mengangguk. "Ya. Ayah bilang, kita butuh daya untuk menghubungi 'Nusantara Zero'. Kita harus tahu apakah mereka menerima kita."

Kirana terkejut. "Nusantara Zero..." bisiknya. Nama itu. Mereka akhirnya mendekati tujuan.

Aksara dan Kirana melangkah keluar dari persembunyian.

Kedua anak itu langsung menoleh, dengan sigap mengambil posisi siaga. Anak laki-laki itu menarik parangnya, dan anak perempuan itu memegang radio seperti senjata.

"Siapa kalian?" tanya anak laki-laki itu, suaranya berubah menjadi keras dan waspada.

"Kami... penyintas dari Jakarta," jawab Kirana, mengangkat tangan. "Kami tidak bermaksud jahat."

"Jakarta?" Anak perempuan itu memicingkan mata. "Itu tempat kebohongan dan api."

"Kami bukan bagian dari itu," kata Aksara. Ia melihat parang di tangan anak laki-laki itu dan memutuskan untuk tidak menunjukkan belati esnya.

Anak laki-laki itu menurunkan parangnya sedikit. "Namaku 'Raka'. Dan ini adikku, 'Jelita'."

Lihat selengkapnya