Jakarta Zero: a country covered in ice due to nuclear war (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #8

Hutan Beku, Beruang Madu, dan Penjaga Warisan

Hutan Kalimantan yang membeku terasa seperti labirin sunyi. Pohon-pohon tropis yang biasanya hijau kini diselimuti es dan salju, menciptakan pemandangan aneh yang memadukan kehidupan dan kematian. Aksara, Kirana, Raka, dan Jelita bergerak hati-hati, mengikuti jejak yang ditunjukkan oleh Raka.

Jelita memimpin, matanya yang tajam terus mengamati. "Kita dekat dengan tambang batu bara tua," bisiknya. "Tempat itu adalah simbol dari keserakahan yang hampir membunuh kita."

Aksara melihat ke depan. Di antara pepohonan, muncul siluet kerangka baja dan bangunan industri yang rusak—sisa-sisa 'tambang batu bara yang terbengkalai'. Area itu diselimuti salju dan es, tampak seperti monumen bagi nafsu manusia.

"Mereka mengorbankan hutan ini demi kekayaan," kata Raka, suaranya dipenuhi kebencian. "Dan sekarang, hutan membalas. Mereka bilang Nusantara Zero dibangun di atas uang hitam dari tambang ini."

Kirana mencengkeram kartu 'K. Zero-001' di sakunya. Ayahnya, seorang pejabat, pasti terkait dengan semua ini. Beban kesalahan masa lalu kini menjadi beban moralnya.

Mereka menyusuri tepi tambang. Udara di sini terasa lebih berat, dipenuhi sisa bau batubara dan karat.

"Ini adalah wilayah Pemusnah Warisan," bisik Jelita. "Mereka percaya setiap sisa peradaban Jakarta harus dihancurkan. Termasuk kita."

Tiba-tiba, suara gemerisik keras terdengar dari semak-semak yang membeku. Itu bukan langkah kaki manusia, melainkan suara berat dan binatang.

Aksara dengan cepat mengangkat belati esnya.

Dari balik semak, seekor binatang buas muncul. Itu adalah 'Beruang Madu Kalimantan', meskipun lebih kecil dari spesies beruang lain, tetaplah berbahaya. Matanya merah dan lapar, terdistorsi oleh kelaparan Musim Dingin Nuklir.

Beruang itu berdiri, mencium bau mereka, lalu menggeram rendah, bersiap menyerang.

"Dia kelaparan," bisik Raka, ekspresinya tegang. "Jangan bergerak!"

Namun, beruang itu terlalu dekat. Ia menerkam ke arah mereka.

Aksara dengan sigap mendorong Kirana ke samping. Ia bersiap melawan, tetapi ia tahu belati esnya mungkin tidak cukup.

Dalam sepersekian detik, Raka mengambil keputusan. Ia menjerit nyaring, mengayunkan parangnya ke udara untuk mengalihkan perhatian beruang itu.

"Raka, jangan!" teriak Jelita.

Beruang itu langsung berbalik, fokusnya kini pada Raka. Raka berlari ke arah beruang itu, memancingnya menjauh.

Jelita, meskipun ketakutan, segera bertindak. Ia mengambil batu-batu dan melemparkannya ke arah beruang itu, membantunya mengalihkan perhatian.

"Kalian lari! Cepat!" teriak Raka, sambil terus bergerak mundur.

'Filosofi psikologi' mereka diuji. Raka dan Jelita, yang tadinya penuh kebencian pada "orang Jakarta," kini mempertaruhkan nyawa mereka demi Aksara dan Kirana.

Lihat selengkapnya