Dipimpin oleh seorang pemuda Dayak Maanyan, Aksara dan Kirana melanjutkan perjalanan mereka. Hutan beku perlahan berubah menjadi daerah yang lebih berbukit, dan di kejauhan terdengar suara sungai yang deras, kontras dengan keheningan mencekam yang selama ini mereka jalani.
Aksara berjalan di depan, matanya waspada. Ia memegang erat belati esnya, bukan karena takut bandit, tetapi karena ia merasa mendekati sesuatu yang lebih besar dari sekadar ancaman fisik.
Pemandu Dayak mereka berhenti di tepi tebing yang curam. Di bawah mereka, sebuah sungai mengalir deras, airnya kelabu dan tampak sangat dingin. Alirannya kuat, membawa bongkahan es dan puing-puing.
"Kita harus menyeberangi sungai itu," bisik pemuda Dayak itu. "Tapi hati-hati. Ada yang tidak ingin hidup lagi di sana."
Aksara dan Kirana melihat ke bawah. Di tepi sungai yang berlumpur, seorang remaja laki-laki, mungkin beberapa tahun lebih tua dari mereka, berdiri diam.
Remaja itu kurus dan lusuh. Matanya kosong, menatap arus air yang ganas. Ia perlahan-lahan melangkah maju, membiarkan air sungai membasahi tubuhnya.
Kirana merasakan getaran dingin yang menusuk. Bukan dari cuaca, tetapi dari keputusasaan yang dipancarkan oleh remaja itu.
"Dia... ingin mengakhiri hidupnya," bisik Kirana, suaranya tercekat.
Remaja itu terus berjalan lebih dalam, air kini mencapai dadanya. Ia tidak melawan arus. Ia menyerahkan diri.
"Orang tuaku... mereka meninggal karena kedinginan," terdengar suaranya yang parau terbawa angin. "Temanku... dia mencuri perbekalanku dan meninggalkanku di jalan."
"Dunia ini busuk," teriaknya ke arah sungai. "Tuhan tidak ada! Semua hanya nol! 'Nihil!'"
Air kini mencapai lehernya. Ia memejamkan mata, seolah menyambut kematian.
Kirana merasakan air mata mengalir di pipinya. Kata-kata remaja itu adalah cerminan dari apa yang ia rasakan di Bab 2. Ia mengerti rasa 'kehampaan eksistensial' itu.
Aksara menahan Kirana. "Jangan dekati dia! Arusnya terlalu kuat!"
Kirana mengabaikan Aksara. Ia melepaskan tangan Aksara, berlari menuruni tebing, dan berteriak, "Tunggu!"
Remaja itu membuka matanya, menatap Kirana dengan pandangan kosong.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan!" teriak Kirana, kini berdiri di tepi sungai. "Aku tahu rasa saat kau merasa Tuhan itu mati. Saat kau merasa semua yang kau perjuangkan hanyalah kebohongan!"
Air sungai bergolak di sekeliling remaja itu.
"Kenapa kau peduli?" teriak remaja itu. "Kau tidak tahu rasanya!"
"Aku tahu!" balas Kirana, suaranya bergetar tetapi penuh tekad. "Orang tuaku mati karena perang yang mereka ciptakan. Aku ditinggalkan di dunia yang membeku. Aku membawa kunci ke 'Utopia Palsu' yang dibangun di atas uang kotor!"