Aksara, Kirana, dan Bima menuruni bukit curam menuju tepi Teluk Balikpapan. Air teluk sebagian besar membeku, tetapi di tengahnya terbentang celah air gelap yang mengalir deras, memisahkan mereka dari struktur beton masif di seberang sana—'Gerbang Nusantara Zero'.
Mereka berjalan di sepanjang pantai, mengamati cara terbaik untuk menyeberang.
Tiba-tiba, dari balik sisa bangunan dermaga, muncul sebuah 'kapal feri kecil' yang usang. Mesinnya berderak, memecah lapisan es tipis di tepian.
Di kemudi, berdiri seorang pria paruh baya dengan tatapan mata lelah. Pria itu menyandarkan sebatang rokok dan melihat ke arah mereka.
"Kalian mau ke seberang?" tanya pria itu, suaranya kering.
Aksara mengangguk. "Kami mencari pintu masuk Zero."
Pria itu tertawa hampa. "Semua orang mencari surga. Naiklah. Bayarannya, apa pun yang kalian punya yang bisa membuatku hangat."
Mereka naik ke geladak feri. Kirana memberikan beberapa bungkusan makanan yang mereka temukan kepada pria itu. Pria itu menunjuk Bima. "Kau juga, Nak. Kau punya sesuatu?"
Bima menggeleng, ekspresinya dipenuhi rasa malu. Aksara dengan cepat memberikan sarung tangannya. "Ini."
Pria itu mengambil sarung tangan itu. "Terima kasih. Aku adalah 'Nahkoda Samudra'. Aku yang terakhir menyeberangkan orang-orang ke neraka itu."
Kirana menatap Nahkoda Samudra. "Kenapa Anda menyebutnya neraka?"
Nahkoda Samudra menghisap rokoknya. "Nusantara Zero. Mereka menyebutnya 'utopia'. Tapi untuk setiap satu orang yang selamat di sana, sepuluh orang mati di luar karena mereka merusak dunia untuk membangun benteng itu."
Ini mengkonfirmasi kecurigaan Adiwira (Bab 3) dan kecemasan ayah Kirana (Bab 4).
"Kebenaran itu menyakitkan, Nak," kata Nahkoda Samudra. "Di teluk ini, airnya dingin, tapi di dalam sana... jiwanya yang dingin."
Mereka menyeberangi teluk. Kapal feri itu berjuang melawan arus air deras dan bongkahan es.
Di tengah teluk, Nahkoda Samudra menunjuk ke air. "Beberapa bulan lalu, aku melihat mayat-mayat mengambang. Mereka bukan penyintas dari luar. Mereka dari dalam Zero."
Bima menatap air dengan ngeri. Wajahnya pucat, teringat usahanya sendiri untuk bunuh diri (Bab 9).
Aksara memandang Gerbang Zero yang semakin besar. Itu adalah struktur yang megah dan mengancam, seolah sebuah monumen bagi kebohongan.
Setelah perjuangan yang lama, feri itu menabrak dermaga kecil di seberang teluk.
Nahkoda Samudra menunjuk ke sebuah pintu baja yang tersembunyi di balik lapisan es. "Itu pintunya. Semoga beruntung dengan surga kalian."