Jakarta Zero: a country covered in ice due to nuclear war (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #14

Kebohongan Terakhir dan Musim Dingin Hati

Kapal feri besar itu berjuang melawan badai di Teluk Balikpapan. Angin bertiup kencang, dan air asin bercampur hujan es menghantam geladak.

Kirana dan Aksara berdiri di pagar belakang kapal. Di belakang mereka, lampu-lampu kapal feri memantul pada wajah-wajah penyintas yang sehat, yang sedang beristirahat, tidak menyadari pengkhianatan yang akan terjadi.

Aksara menatap Teluk yang gelap. "Apa yang ingin kau katakan, Kirana?" tanyanya, suaranya dipenuhi harapan. "Setelah ini, kita bisa memulai lagi. Kau, aku, Bima, Raka, Jelita."

Kirana mengangguk dengan memalingkan wajahnya. Air mata yang ia tahan sejak membaca surat ayahnya kini mulai bercampur dengan hujan.

"Aksara," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar ditelan badai. "Aku... aku ingin mengucapkan terima kasih."

Aksara terkejut. Ia menoleh. "Untuk apa?"

"Untuk segalanya," kata Kirana. "Untuk mengajariku bahwa Tuhan mati, tetapi kemanusiaan bisa hidup. Untuk membawaku keluar dari Jakarta yang membeku. Untuk menjadi makna eksistensi-ku."

Aksara tersenyum tulus. "Kau juga maknaku, Kirana. Tanpamu, aku hanya akan menjadi anak yang bertahan hidup."

Senyum Aksara, yang polos dan murni, menusuk hati Kirana lebih dalam dari belati es mana pun.

Kirana menelan rasa sakitnya. Ia harus melakukannya. Demi 'Jayaindo Zero'. Demi ayahnya. Demi yang lain.

"Ada satu hal terakhir," kata Kirana, suaranya kini kembali dingin. "Ayahku... dia benar tentang satu hal."

"Apa?" tanya Aksara.

Kirana melangkah mundur. Matanya yang merah menatap Aksara dengan 'tatapan kosong', tanpa emosi.

"Dia benar... bahwa 'garis keturunan tidak bisa berbohong'."

Sebelum Aksara sempat memproses kata-kata itu, Kirana dengan cekatan ia mendorong mengunakan lengannya ke dada Aksara dengan keras.

Dorongan itu datang tiba-tiba, dikombinasikan dengan hempasan badai yang dahsyat.

Aksara menjerit. Ia terlempar melewati pagar kapal.

Refleks bertahan hidup Aksara yang tajam bekerja. Tangan kirinya berhasil mencengkeram besi pagar kapal.

Ia tergantung di tepi kapal, tubuhnya tergantung di atas air Teluk yang bergolak.

Ia menatap Kirana. Matanya dipenuhi keterkejutan, rasa sakit, dan 'pengkhianatan' yang mematikan.

"Kirana... kenapa?" suaranya menghilang dalam angin.

Lihat selengkapnya