Waktu evakuasi tiba. Di bawah kendali Dewan Indonesia, ratusan orang dari Tingkat Alpha dan Beta—para elit yang sehat dan keluarga mereka—dikumpulkan di lift evakuasi rahasia. Mereka percaya mereka akan menuju 'Ekspansi Kekuasaan' yang lebih besar, tidak menyadari bahwa mereka sedang diselamatkan dari kiamat buatan.
Aksara dan Bima bekerja keras, mengarahkan orang-orang ke dalam lift dengan tenang. Aksara, meskipun merasa ada jarak dari Kirana, tetap fokus pada misinya.
Jelita dan Raka sudah menunggu di permukaan. Mereka mengamankan beberapa kapal feri besar yang sudah disiapkan untuk mengangkut para penyintas ke Timur.
Setelah berjam-jam, kelompok pertama tiba di Teluk Balikpapan. Badai besar telah melanda, dan ombak Teluk Balikpapan membentur keras dermaga.
Saat semua orang mulai naik ke kapal, Kirana menarik Bima menjauh dari kerumunan, menuju balik tumpukan peti kemas yang membeku.
"Aku harus bicara, hanya berdua," kata Kirana, matanya yang merah dan lelah menatap Bima.
Bima, yang baru menemukan semangat hidup (Bab 9), menatap Kirana dengan ragu. "Ada apa? Kita harus fokus pada evakuasi."
"Ini tentang yang kita tinggalkan," kata Kirana. "Orang-orang di Tingkat Gamma dan Delta."
Bima mendesah. "Aku tahu, ini tidak benar. Kita meninggalkan mereka untuk dibunuh oleh senjata biologi. Kita harus kembali! Setidaknya beri tahu mereka!"
"Dan membuat kepanikan massal yang akan membunuh kita semua? Tidak," potong Kirana dingin. "Keputusan sudah dibuat. Kita harus memimpin yang masih bisa diselamatkan ke 'Jayaindo Zero'."
"Itu hanya dalih untuk menyelamatkan para elit yang serakah!" bantah Bima. "Kau sama saja dengan Ayahmu!"
Kirana menampar Bima. Suara tamparan itu hilang ditelan lolongan angin badai.
"Dengar aku!" Kirana mencengkeram kerah Bima. "Aku berbohong untuk menyelamatkan sisa kemanusiaan. Sekarang, aku butuh satu kebohongan lagi."
Wajah Bima pucat. Ia melihat sosok Kirana yang kejam dan pragmatis, sebuah produk dari 'Nihilisme' yang telah ia peluk.
"Ini tentang Aksara," bisik Kirana, matanya dipenuhi ketakutan dan tekad.
"Aksara? Apa yang salah dengan dia? Dia adalah yang paling jujur dari kita semua!" kata Bima, bingung.
Kirana menarik napas. "Ayahku menyimpan rahasia di surat itu. Dia bukan hanya pejabat, tapi juga target."
"Aksara... orang tuanya bukan hanya penyintas biasa. Mereka adalah bagian dari 'Kelompok Kudeta Tangan Hitam'."
Bima terkejut. Kelompok Kudeta Tangan Hitam. Mereka yang dituduh pemerintah Kirana sebagai teroris yang memicu kerusuhan dan perang dagang.
"Mereka adalah teroris yang ingin menggulingkan sistem Ayahku. Dan orang tua Aksara adalah pemimpin lapangan. Mereka bertanggung jawab atas sebagian besar serangan di Jakarta," jelas Kirana, suaranya bergetar.