Bau tanah basah dan asap kayu bakar dari dapur darurat menusuk hidung Aksara. Ia terbangun. Di atasnya, bukan lagi langit Jakarta yang beku, melainkan atap tenda yang terbuat dari terpal—markas tersembunyi Tangan Hitam di hutan Sulawesi.
Aksara mencoba bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di mata kirinya menghentikannya. Ia menyentuh perban tebal di wajahnya.
Ia ingat semuanya: Air yang dingin. Karang yang tajam. Dan tatapan 'Kirana' yang kosong, sedingin es yang menginjak pergelangan tangannya.
Ia menyentuh mata kanannya. Air matanya mengering sebelum sempat jatuh. 'Hatinya telah membeku', seutuhnya.
Di sampingnya, duduk Paman Aksara, pria kekar dengan janggut tebal, yang kini menjadi figur otoritas barunya.
"Selamat datang kembali, Nak," kata Pamannya, suaranya dalam dan berwibawa. "Kau sudah tidur selama dua minggu. Kami di sini di Sulawesi."
Aksara mencoba berbicara, tetapi suaranya serak. "Kirana... kapal..."
Pamannya mengangguk. "Ya. Dia berhasil. Feri itu membawa para elit ke benteng baru mereka, 'Jayaindo Zero'."
"Kenapa dia melakukan itu?" tanya Aksara, rasa sakit dari pengkhianatan lebih menyiksa daripada luka matanya.
Pamannya tertawa sinis. "Karena dia adalah putri dari 'penguasa', dan kau adalah putra dari 'teroris'. Garis keturunan tidak bisa berbohong, Aksara."
Aksara mencoba memproses. Kata-kata terakhir Kirana kini memiliki makna. 'Ayahnya bukan hanya penyintas; ia adalah musuh negara.'
"Ayahmu adalah 'Komandan Alfa' dari Tangan Hitam," jelas Pamannya. "Kami tidak melawan negara. Kami melawan 'kebohongan' dan 'penindasan' yang diciptakan oleh para elit, termasuk Ayah Kirana. Kami berjuang untuk keadilan."
Paman Aksara menyerahkan sebuah dokumen tua: 'Manifesto Tangan Hitam'. Itu adalah buku panduan filosofi kelompok mereka, tentang keadilan yang harus ditegakkan dengan kekerasan.
Aksara membaca, setiap kata terasa seperti es yang menghancurkan sisa-sisa idealismenya. Tangan Hitam berjuang untuk 'Keadilan Rakyat', tetapi dengan cara yang brutal.
"Kirana... dia memilih untuk melindungi kebohongan itu," bisik Aksara.
"Dia memilih kekuasaan," koreksi Pamannya. "Sekarang, kau punya pilihan. Mati sebagai korban, atau hidup sebagai 'Akar Balas Dendam'."
Sisi gelapnya, yang ia tolak selama di Jakarta, kini terasa hangat dan memanggil.
Aksara menghabiskan bulan pertama di tenda. Fokusnya adalah penyembuhan fisik dan mental. Ia harus belajar menyeimbangkan pandangannya hanya dengan mata kanannya yang tersisa.
'Kebutaan mata kiri' menjadi simbol: ia buta terhadap 'kepolosan' dan 'cinta' yang pernah ia yakini. Ia hanya melihat kebenaran yang kejam.
'Lompatan Waktu: Minggu ke-5'