JALAINI: Sumur-Sumur Mutilasi Berantai

Ikhsannu Hakim
Chapter #2

JALAINI

Ada papan nama di antara pintu dan ventilasi yang bertuliskan JALAINI. Seorang pria berusia 31 tahun membuka pintu di bawah papan nama tersebut sambil menyapu debu dan segala macam hal kotor dari kediamannya. Pria itu berambut klimis pendek dan memakai kaus putih polos yang dimasukkan ke dalam celana katun hitamnya. Badannya pun memiliki aroma kehidupan dari hutan belantara. Sejuknya aroma itu senada dengan matanya saat menatap.

Pandangan itulah yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Contohnya saja seorang ibu berusia 40-an yang merupakan tetangganya selalu semangat menyapanya setiap pagi. Termasuk pagi ini saat Jalaini memasukkan sampah yang disapunya ke serokan.

“Pagi, Pak Jala,” sapa wanita itu dengan senyum semringah.

Jalaini menoleh ke kanan - ke arah wanita itu - dan hanya memberikan senyum dan sekali anggukan. Senyumnya tidak hanya terlukis pada bibirnya, namun juga matanya yang sejuk itu. Kemudian dia masuk ke dalam rumah bergaya jengki yang hanya satu lantai itu.

Dia masuk ke kamar. Kamarnya begitu rapi. Semua tertata dengan baik. Di mejanya terdapat radio yang sedang menyiarkan lagu bertajuk Begadang dari Sang Raja Dangdut, minyak rambut berwarna hijau dengan botol seperti lilitan, lampu dian yang bagian atasnya sudah tampak menghitam, serta parfum yang beraroma hutan belantara. Masih di atas meja kayu yang memiliki laci itu, terdapat beberapa buku tentang kepolisian dan kasus-kasus pembunuhan.

Di sebelah meja terdapat kasur yang memiliki dua bantal serta satu guling. Di seberang kasur terdapat jendela yang bisa melihat ke luar meski itu hanyalah pekarangan. Sementara di ujung dekat jendela terdapat lemari kayu berukir dengan dua pintu yang sebelah kirinya tertempel cermin.

Jalaini mengambil parfum dan menyemprotnya ke nadi tangan kanannya. Kemudian antar nadi digosok lalu digosok kembali ke leher. Aroma pinus serta kekayuan dan dedaunan lainnya semakin menyerbak, namun tidak menyengat. Wadah parfum diletakkannya kembali dengan posisi yang sama persis dengan sebelumnya.

Langkahnya beralih ke lemari. Dibukanya lemari kayu dengan memaksa daun pintunya untuk tidak berderit. Tatapannya begitu lama pada isi lemari. Setiap pakaian itu seolah memberinya semua cerita yang pernah mereka alami; kebahagiaan, kesedihan, marah, pilu, hingga kehilangan. Pakaian adalah saksi atas pemakainya. Mereka tak memiliki mulut, namun memori manusia akan mendengar setiap momen yang terekam. Sehingga lemari pakaian adalah segudang cerita tanpa suara. Maka sudah sepantasnya, pria bertubuh tegap ini merenungkan dirinya saat membuka lemari berkayu mahoni.

Kemeja putih diambilnya. Lemari kembali ditutup dan dia menatap cermin. Dipakainya kemeja itu sambil mendengar apa yang diceritakan oleh si kemeja. Cerita itu semakin jelas saat dirinya menatap cermin.

***

Cermin menjadi portal waktu ke masa lalu meski nyawa masih di masa kini. Seorang wanita berambut panjang bersasak pada foto di pojok kanan atas cermin lah yang membuka portal masa lalu itu. Tatapan Jalaini tak bisa direda pada wanita bermata kacang almon.

Mata mereka saling beradu. Senyum merekah dari sang pria sebagai wujud jiwa yang membara meski tanpa memamerkan giginya. Alunan musik dangdut perlahan berubah menjadi musik Waltz. Tangan kanan Jalaini mengulur ke depan karena musik dansa tak bisa ditahannya.

Namun jari telunjuknya menyentuh benda datar.

Portal itu menutup.

***

Yang dilihatnya adalah wajahnya. Musik Waltz seketika kembali ke musik dangdut. Sudah tersadar bahwa ini bukanlah nyata.

Mata Jalaini bersendu.

Jalaini memutuskan untuk tidak lagi tenggelam dalam pantulan semu dirinya. Dia memasukkan lagi kemejanya ke lemari. Dia tinggalkan lemari beserta kamar lalu masuk ke ruang kerja di sebelah kamarnya.

Bisa ditebak, semua benda di ruang kerjanya tertata begitu rapi. Meja kerjanya tertumpuk buku-buku yang salah satu sisinya presisi dengan yang paling panjang di bawah dan semakin pendek ke atas. Buku-buku itu juga masih memiliki tema yang sama dengan buku-buku di kamar tidur yaitu kepolisian, kasus-kasus kriminal, penyelidikan, dan sebagainya. Namun ada beberapa buku lain yang tidak berhubungan dengan hal itu seperti buku telepon setempat, kamus bahasa Jawa, hingga novel-novel misteri karya Agatha Christie dan Arthur Conan Doyle. Kertas-kertas berkas juga tertumpuk rapi. Banyak di antaranya diberikan klip di atasnya. Beberapa berkas itu tercap logo kepolisian daerah Purworejo, Jawa Tengah. Ada juga peta Kabupaten Purworejo yang terselip di antara kertas-kertas itu. Di ujung kanan meja, terdapat folder-folder yang berisi berkas-berkas. Tidak hanya itu, terdapat juga lampu dian namun bagian atasnya tidak begitu hitam sebagai penerang saat listrik padam.

Di ruang yang luasnya sama dengan kamar tidur itu juga terdapat lemari kayu satu pintu yang tingginya sedagu. Lemari itu berisi barang-barang untuk urusan kantor seperti tas, sepatu, topi khas polisi (berwarna cokelat dan pita di tengah berwarna merah, bagian depan menggunung dengan logo Polri di tengahnya), serta beberapa pasangan pangkat yang tertata rapi mulai dari panah satu hingga panah empat.

Di atas lemari itu terdapat jam dinding bulat. Jam itu menunjuk ke pukul 06.11.

Lihat selengkapnya