“Edan!”
“Setan mana yang tega memotong tubuh manusia seperti itu?”
“Memangnya setan bisa menggunakan tangannya sendiri untuk membunuh manusia?”
Para warga ramai berdesak-desakan memenuhi pekarangan rumah dengan sumur di ujungnya. Rumah yang mereka padati itu adalah milik keluarga yang dikepalai oleh Pak Bahar. Berbagai ekspresi wajah para warga mewarnai rumah itu menjadi gelap; sedih, terkejut, menghalau bau, hingga menutup wajah. Wajah bahagia pun ada, muncul dari anak-anak yang sedang membeli gulali yang dijajakan di sekitar rumah itu. Penjual gulali berwajah ceria pula karena kerumunan adalah ladang rezeki, apapun bentuk kerumunannya.
Yanto berteriak kepada warga untuk menyingkir dari sumur. Satu per satu manusia memberi jalan pada Jalaini dan Yanto hingga mereka berdua bisa melihat langsung Pak Bahar berdiri di samping sumurnya dengan latar belakang para warga dan hutan.
Di bibir sumur itu tergeletak ember timba dengan potongan tangan kanan. Potongan tangan itu masih mengeluarkan darah dari ruas atas jari-jarinya yang telah hilang.
Jalaini mengambil tangan dingin itu dengan sarung tangan. Tangan itu terpotong hingga ujung lengan. Dirabanya tangan yang sedikit kaku itu, namun tidak ada tanda khusus seperti tahi lalat atau tanda lahir lainnya. Jari manisnya juga tidak ada bekas cincin.
“Sejak kapan ditemukan?”
“Baru saja, Pak Jalaini. Tadi saya mau mandi,” jawab Pak Bahar.
“Semalam mendengar atau melihat sesuatu yang aneh?”
“Ndak.”
“Kemarin?”
“Ndak.”
Para warga malah semakin ramai. Bahkan suara mereka membuyarkan konsentrasi Jalaini untuk mewawancarai Pak Bahar.
“Bapak Ibu sekalian, mohon perhatian. Tolong tenang! Ingin kasusnya beres kan?”
“Ya bereskan to, Pak!” Salah seorang pemuda berteriak.
“Makanya, tenang!”
Suara para warga mulai mereda.
Lalu para polisi berseragam datang. Para polisi itu mengarahkan warga untuk menjauh dari TKP1.