Suara riuh rendah para warga dan penenangan para polisi terdengar dalam gelap. Namun gelap itu mulai terisi cahaya yang semakin tampak seperti di gerhana matahari menuju akhir.
Lubang sumur telah dibuka.
Di permukaan air tenang itu, muncul wajah Jalaini yang melongok ke dalam lubang sumur. Dia menengok dan memanggil salah satu polisi berseragam dengan anggukan. Polisi itu menurunkan ember timba. Ember itu mengacaukan bayangan di permukaan air.
Setelah beberapa lama, mereka tidak menemukan tanda-tanda ada potongan tubuh di dalam sumur itu kecuali sepotong tangan kiri buntung di atas ember hitam berisi pakaian putih. Jalaini memakai sarung tangannya dan mengambil potongan tangan dengan kapalan di telapaknya itu. Ujung-ujung jemari yang buntung itu diperhatikan olehnya.
Sumur ini adalah milik Mak Romlah, seorang wanita yang ditinggal suaminya merantau dan memiliki dua orang anak perempuan. Rumahnya berbeda RT dengan rumah Jalaini, namun masih satu RW. Jika dibandingkan dengan rumah Pak Bahar atau Pak Yono, wilayah ini berada di sebelah timur dan perlu kendaraan untuk menempuh lebih cepat.
Untuk ke TKP ini, Jalaini ditemani Budiman menaiki mobil Polres, sementara Anggoro ke utara menggunakan motornya dan kabarnya Kanit Identifikasi juga ada di sana.
“Ketemu?” tanya Budiman.
Jalaini menggeleng.
“Tak ada tanda lahir sama sekali, Pak Budi. Tak ada tanda khusus juga. Apalagi sidik jari. Bersih,” terang Jalaini.
Budiman Dumijo, nama polisi berbadan besar itu, mengembuskan napas berat. Polisi berpangkat Aipda tersebut menatap warga-warga desa yang dihuni Jalaini di sekitar TKP. Wajah-wajah mereka menunjukkan keingintahuan, kepanikan, ketakutan, hingga kesedihan. Tidak ada wajah cerah di antara para warga; penjual jajanan juga belum datang. Begitu pula wajah Budiman. Terlebih lagi saat Budiman kembali menyaksikan bahwa TKP sudah penuh dengan bekas pijakan-pijakan manusia.
“TKP sudah diinjak-injak lagi oleh warga. Rusak. Ndak bisa diidentifikasi si pelaku. Sial!” gerutu Budiman.
“Ya sudah, Pak. Yang penting polisi Polsek sudah mengamankan.”
Seorang polisi berseragam sedang membuat garis batas. Garis itu bertujuan agar para warga dan siapa pun selain penyelidik untuk tidak melewati itu, sehingga TKP steril; meski sudah terkontaminasi sebelumnya.
Jalaini memasukkan potongan mayat yang masih berdarah itu ke dalam plastik.
“Saya wawancara dulu ya, Pak.”