Purworejo, Minggu, 7 September 1986
"Selamat pagi. Silakan masuk ke ruangan sesuai setiap nama yang saya panggil."
Jalaini menyapa beberapa warga yang diminta datang ke Polsek setempat. Nada Jalaini sedikit kaku, mungkin karena kurang minum atau sebelum mengumpulkan beberapa warga tersebut terjadi perselisihan antara dirinya dengan Budiman.
***
Sejak pagi usai sarapan, Jalaini mendatangi TKP Mak Romlah. Tidak lama dari itu, Budiman datang menemuinya setelah mencari di rumahnya. Budiman meminta Jalaini yang melakukan wawancara dengan beberapa warga. Namun Jalaini menolak dan menginginkan untuk olah TKP. Jalaini juga beralasan bahwa arahan Budiman itu tidak berdasar, sebab mereka berdua sama-sama anggota Unit Identifikasi. Sementara Kanit tidak memberi instruksi apa pun pada hari itu.
Kemudian Budiman menekankan bahwa itu bukan soal sesama anggota atau senior-junior melainkan posisi Jalaini. Jalaini adalah satu-satunya anggota Unit Identifikasi yang tinggal di desa TKP. Jalaini pula yang lebih mengenal warga-warga di desa tersebut dibandingkan anggota lainnya. Dengan demikian, Jalaini bisa menggali informasi lebih dalam dari para warga tersebut.
Di samping itu, terang Budiman, olah TKP bisa dilakukan oleh dirinya dan Anggoro. Olah TKP yang terlalu luas memang sulit jika dilakukan sendiri.
Setelah dipikir dengan matang, Jalaini menyetujui usul Budiman. Kemudian Jalaini dan Budiman menemui Kepala Desa untuk memanggil beberapa warganya yang perlu dijadikan saksi dan memberikan keterangan di Polsek setempat sebagai tempat yang netral.
***
"Pak Kades," sebut Jalaini.
"Nggih, saya."
"Mari."
Kepala Desa membenarkan peci hitam serta kemeja batiknya saat mulai duduk. Semua dari tubuhnya tampak tenang, kecuali jemari tangan yang sibuk membenarkan pakaiannya padahal tidak ada yang salah serta jemari kaki yang bergerak tak berirama dalam sepatu selopnya.
Di depannya ada meja yang memisahkan dirinya dengan Jalaini.
Jalaini menggeser gandaran pada mesin tik sehingga tepat di tengah. Kemudian dia memasukkan kertas kosong ke dalam mesin tik dan memutar rol, maka kertas itu tergulung hingga siap untuk diketik.
"Tenang saja, Pak. Hanya kita dan... mesin tik."
Kepala Desa mengangguk sambil menggoyangkan bokongnya yang menempel di kursi ke belakang hingga dia duduk tegak pada senderan.
"Kita mulai. Kapan Bapak mendengar ada kejadian ini?"
"Saya sedang memegang burung saya..."
***
Pagi itu Pak Kades melakukan rutinitasnya dengan memberi makan burung-burung dalam sangkar. Dia menggantung setiap sangkar ke pengait di terasnya. Namun ada burung yang tampak tak bersemangat berkicau seperti rekan-rekannya. Pak Kades berinisiatif untuk mengambil burung itu untuk mengecek kondisi fisiknya.
Di tengah pertunjukan berbagai macam kicauan burung, tiba-tiba muncul suara jeritan dari rumah Pak Bahar; sebut Pak Kades. Dengan masih memegang burung yang malas bersuara itu, Pak Kades mendatangi rumah Pak Bahar. Begitu pula para warga di sekitar rumah Pak Bahar. Mereka mencari tahu tentang apa yang terjadi.
Pak Bahar membuka pintu rumahnya. Wajahnya merah dengan mata melotot. Dia tak mampu berkata-kata. Mulutnya hanya menganga disertai dengan bergetar. Tangannya menunjuk ke arah belakang rumahnya.
Para warga mengerubungi Pak Bahar seperti pasukan tawon yang baru saja diserang rumahnya. Semua semakin lapar akan informasi dari lelaki dengan lima anak tersebut.
Pak Kades langsung masuk ke dalam rumah. Anak-anak Pak Bahar menangis sambil dipeluk oleh Bu Bahar yang tak mampu menahan tangis. Ketika wanita itu melihat Pak Kades, dia menunjuk pintu belakang yang terbuka.
Keluarlah Pak Kades lewat pintu belakang tersebut. Dia melihat pekarangan belakang yang tidak ada orang satu pun. Dia tidak melihat sesuatu yang aneh. Namun ketika dia menoleh ke kanan, dia langsung menganga dan bergeming. bahkan dia tidak sadar bahwa burung yang dipegangnya lepas, lalu terbang membebaskan diri.
"Sumur," ucap Pak Bahar di hadapan para warga.
Para warga berbondong-bondong ke pekarangan belakang rumah Pak Bahar. Banyak di antara mereka yang lewat samping rumah, hingga menginjak-injak tanaman hias merona yang ditanam Bu Bahar. Ada pula yang lewat dalam rumah.
Semua tercengang.
Mereka, termasuk Pak Kades, melihat di ember timba terdapat sepotong tangan dengan semua ruas atas jemarinya terpotong.
***
"Semua berebut ingin melihat meski banyak para wanita teriak histeris hingga menangis. Saya meminta mereka untuk menjauh dari lokasi itu, tetapi mereka ndak mau menurut. Saya teriak bahwa mereka boleh melihat tapi ndak boleh menyentuh tangan itu.
"Kemudian di tengah-tengah para warga itu saya panggil Yanto dan Toro. Saya minta Toro ke Polsek untuk mengabari ini. Karena saya tahu Pak Jalaini anggota polisi di Polres, jadi saya minta Yanto menjemput Bapak.
"Sementara mereka pergi, saya minta beberapa ibu untuk menenangkan Bu Bhar dan anak-anaknya. Sedangkan Pak Bahar saya ajak berdiri bersama saya."
Pak Kades melepaskan pecinya.
"Kenapa, Pak?" tanya Jalaini setelah menyelesaikan ketikannya.