Semarang, Senin, 8 September 1986
Pengap dan bau busuk serta anyir mendominasi ruang forensik di rumah sakit ini. Beberapa lemari dan meja alumunium serta baja anti karat tampak mengilap, meski sebenarnya sudah berpuluh jasad manusia menodai benda-benda itu. Pisau, tang, palu, gergaji, dan peralatan keras lainnya juga telah menjadi saksi bisu untuk membedah tubuh manusia yang tak berdaya.
Memori-memori kesadisan, kepiluan, kerapuhan, dan keputusasaan akan muncul dalam ruangan ini. Walau tidak keluar lewat teve maupun radio. Namun memori itu muncul dalam bentuk luka sayatan, bekas ikatan, lendir, memar, bercak darah, dan sebagainya. Bagian-bagian tubuh itu memberikan kesaksian seolah berbicara tanpa mulut.
Di bagian ini, dia telah mengambil alih kuasa Tuhan untuk mengakhiri hidup saya. Dia telah mencekik saya hingga paru-paru saya tidak lagi mampu menukar udara bersih dan kotor. Benda tajam itu telah menusuk bagian ini hingga tujuh kali dan darahku terlalu banyak keluar bersama dengan nyawaku. Lendir ini adalah calon anaknya namun gagal karena dia menodaiku setelah aku dihilangkan nyawa.
Mungkin begitulah ketika setiap bagian tubuh manusia menjadi saksi atas segala perbuatannya di dunia pada Hari Perhitungan.
Kini meja baja anti karat sudah kembalsiap menjadi media kesaksian kembali dari potongan-potongan mayat. Potongan-potongan itu tertata sesuai letaknya. Dada hingga perut, perut hingga tulang panggul, paha hingga kaki, lengan dan tangan tanpa ruas ujung jemari. Tak ada kepala.
"Bapak-bapak bisa lihat ini?"
Seorang pria memakai jas dokter menunjukkan punggung sebelah kanan milik korban ke Jalaini dan Anggoro. Ada tahi lalat.
Dia melanjutkan lagi. "Ciri khusus. Sayangnya tidak ditemukan sidik jari pada setiap potongan..."
"Apakah ada hal khusus lagi?" tanya Jalaini memotong penuturan dokter forensik. Pertanyaan itu muncul sembari Jalaini menulis di buku catatan menggunakan tangan kirinya.
Dokter menunjukkan lutut kaki kanan korban. Garis. Garis tipis itu sudah berwarna biru.
"Itu apa?" tanya Anggoro.
"Bekas tali. Ada kemungkinan potongan ini diikat kuat pada bagian ini namun talinya lepas. Ini bukan tali kawat. Sepertinya plastik, mungkin rafia."
"Tapi kami tidak menemukan tali." Jalaini membalas pernyataan dokter sambil memperhatikan garis itu.
"Atau tenggelam dengan pemberatnya?"
Pertanyaan dari dokter membuat Jalaini menyernyitkan dahi dan menahan bolpen dari buku. "Oh... Agar kaki ini tak mengapung?"
"Anak SMA sedang belajar fisika juga pasti mengerti, kan?"
Pertanyaan yang tak perlu dijawab itu dilontarkan dokter sambil berjalan ke sudut lain.
"Oh ya, bukan hanya kaki itu saja. Lihat ini! Lalu ini! Dan semua potongan ini!"
Jalaini dan Anggoro menemukan bekas tali pada setiap potongan. Garis biru tipis. Anggoro hendak menyentuh bagian kemaluan korban yang juga terdapat garis itu hingga ke potongan perut.
"Coba perhatikan juga ini!"
Kali ini dokter menunjuk ke bekas imunisasi pada lengan kanan korban. Bagian itu terdapat goresan tipis yang diperlukan lup untuk memperjelas. Sebuah simbol.