Asap rokok disemburkan Anggoro ke luar jendela mobil. Mulai dari pagi berangkat ke Semarang hingga kembali lagi ke Purworejo pada sore, Anggoro lah yang menyetir mobil Polres tersebut. Sedangkan Jalaini duduk di sampingnya.
Di tengah situasi tanpa obrolan, Anggoro menggeser sebungkus rokoknya hingga menyentuh jemari Jalaini.
Jalaini menoleh dan memperhatikan bungkus rokok yang sudah dibuka oleh Anggoro itu. "Ada permen?"
Anggoro merogoh saku. Diambilnya permen min yang berbungkus kertas biru. Dari luar berbentuk silinder, namun dalamnya berupa kembang gula warna putih berbentuk seperti ban yang tertata rapi.
"Belum dibuka?"
"Buka saja, Pak. Memang jaga-jaga kalau diperlukan. Sekarang Pak Jalaini memerlukannya to?"
Jalaini membuka ujung bungkusnya. Diambilnya permen yang paling ujung. Kembang gula rasa min itu diletakkan pada ujung mulutnya. Dia meniup, sehingga udara melewati lubang tengah permen lingkaran itu. Tidak ada bunyi.
"Mumpung harga masih 5 rupiah, Pak," lanjut Anggoro sambil membelokkan mobil.
"Memangnya nanti akan jadi harga seratusan rupiah?"
"Bisa jadi. Atau bisa saja nanti harganya jadi 200 perak. Bahkan 1000 atau 2000."
"Kalau 200 perak, hampir seharga semangkuk bakso sapi dong? Ya kalau 1000 atau 2000 bisa dapat berapa mangkuk bakso sapi itu?"
Kemudian mereka tertawa.
Ketika mobil berhenti di lampu merah dengan langit sudah mulai petang, seorang anak laki-laki menyamperi mereka. Anak itu membawa koran-koran yang bertumpuk. Dia menawarkan barang dagangannya yang baru dia jual usai pulang sekolah itu ke kedua polisi.
Mengulurkan beberapa koin dan tidak mau meminta kembalian, salah satu koran dibeli oleh Jalaini. Anggoro heran dengan Jalaini yang membeli koran pagi sementara waktu sudah mulai mendepak matahari dari langit. Apa karena kasihan? Begitulah Anggoro bertanya. Jalaini menjelaskan bahwa memang dia kasihan pada anak itu, tetapi dia memang butuh. Dia suka membaca, termasuk koran. Apalagi dalam hari itu Jalaini belum membaca koran, sehingga tidak ada berita yang dia peroleh. Ada televisi dan radio, kata Anggoro. Namun perjalanan mereka tidak ada sempat untuk mendapatkan berita dari media elektronik.
"Informasi di koran juga lebih detail. Meski terkadang wartawannya salah menulis detail dari berita itu. Apalagi kalau dijadikan judul. Contohnya ini."
Anggoro membaca judul salah satu berita yang ditunjukkan Jalaini. Gadis Dimutilasi Tetangga dan Dibuang ke Sumur-Sumur.
"Kenanga?" tanya Anggoro untuk memastikan.
"Ya. Tertulis nama itu di sini. Tetangga yang dimaksud di judul adalah..."
"Mustofa."
"Tepat."
"Setelah tahu perkembangan ini, besok mereka juga akan ganti judul. Dua Remaja Dimutilasi. Atau begini. Dua Sejoli Ditemukan Tewas Termutilasi dan Dibuang ke Sumur-Sumur. Lebih dramatis."
"Sepertinya Saudara lebih cocok jadi wartawan."