Api menyala pada sumbu-sumbu kompor minyak. Air dalam cerek telah mendidih. Sumbu-sumbu diturunkan hingga api pun mati. Cerek diambil dan isinya dituangkan pada tiga cangkir berisi bubuk kopi hitam dan gula; satu tidak memakai gula. Setelah diaduk menggunakan sendok, ketiga cangkir kopi itu diangkut menggunakan nampan. Namun ketika di depan ruang kerja, Jalaini berhenti. Dia menutup pintu ruang itu. Kemudian melanjutkan lagi hingga ke teras. Di situlah Budiman dan Anggoro sedang bercakap. Jalaini membagikan kopi-kopi itu.
"Yang pahit cuma punya saya."
Budiman mengeluarkan sebungkus rokok. "Ada asbak?"
"Tunggu sebentar."
Jalaini masuk ke kamar. Kemudian membuka laci mejanya. Diambilnya asbak alumunium berbentuk segitiga yang sedikit kotor. Lalu dia kembali ke teras dan menaruhnya di tengah cangkir-cangkir kopi.
"Ambil saja." Budiman menyodorkan rokok yang baru dibukanya.
Menggelenglah Jalaini pada tawaran itu.
Sementara Anggoro mengambil satu batang dan meminjam korek bensol yang baru saja dipakai Budiman. "Kopinya seduh sendiri, Pak?"
"Ya. Mau siapa lagi?" Jalaini meletakkan kedua tangannya ke pegangan cangkir.
"Ndak tinggal sama istri?"
Budiman menoleh ke Anggoro sambil sedikit melotot. Namun Anggoro tidak melihat ke arah Budiman. "Bung..."
Jari tengah, manis, dan kelingking dikibaskan Jalaini. Sedangkan jempol dan telunjuknya tak lepas dari cangkir. "Iya seharusnya. Rumah ini miliknya."
Jalaini mengangkat bokongnya seakan ada api yang mau melahapnya. Diambilnya dompet dari saku belakang. Ada foto. Foto itu sama dengan yang ditempel di cermin lemari kamarnya. Wanita bermata kacang almon.
"Cantik, Pak. Kalau sudah punya anak pasti anaknya rupawan juga."
Budiman mendeham sambil mengetukkan batang rokok pada asbak. "Bung Anggoro, bawa.. Em... Bawa..."
"Seharusnya." Jalaini meneguk kopinya.
Anggoro mencondongkan badannya ke arah Jalaini. "Kenapa sejak tadi seharusnya?"
Embusan asap rokok keluar cepat dari mulut Budiman. "Bisa kita sudahi pembahasan ini?"
Hening.
Mereka bertiga saling menatap.
"Calon anakku meninggal di dalam kandungan di usia tujuh bulan."
"Wah, sayang banget keguguran di usia janin segitu."
"Bukan keguguran."
Anggoro menyernyitkan dahi.
"Karena istri saya meninggal saat mengandungnya."