Purworejo, Selasa, 9 September 1986
Sebuah koran diletakkan di atas meja dengan keras. Jika di bawahnya ada nyamuk, maka darahnya akan menodai koran itu dengan tubuh yang gepeng. Koran itu tertanggal sama dengan kalender yang menempel di dinding. Aromanya juga masih aroma percetakan, meski ada sedikit aroma asap kendaraan. Wajah koran itu terdapat beberapa judul. Salah satu judul yang tertera adalah "Wanita Termutilasi Ditemukan Tanpa Identitas di Sumur-Sumur Warga Purworejo".
"Ternyata media masih tertinggal. Jadi yang sudah mendekati identitas korban adalah gadis itu?" Kanit Identifikasi menyilangkan tangannya sambil berdiri di depan kursi ruangannya.
Ketiga polisi anggotanya mengangguk; Jalaini, Budiman, dan Anggoro duduk di tengah.
"Dan untuk mayat satu lagi belum diketahui jenis kelaminnya juga," balas Jalaini.
"Maksud Saudara ada kemungkinan si pemuda itu?"
"Mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan. Perlu tambahan bukti."
"Tapi bukti-bukti yang ada sudah mengarah ke pemuda bernama Mustofa itu to?" sanggah Budiman.
Jalaini menghadap ke Budiman. "Kita belum melihat jenis kelamin korban yang satu lagi."
"Percaya sama saya. Wis to, titeni. Mayat yang wanita itu Kenanga. Dan mayat yang satu lagi itu Mustofa."
"Saya bilang, perlu tambahan bukti."
Anggoro hanya menatap Kanit. Dia tersenyum di tengah perdebatan itu.
Kanit membalas senyum. "Saya minta kalian segera bergerak. Staf lain sedang mengurusi kasus lain dan sisa kalian bertiga. Saya juga sedang sering ke Semarang karena ada urusan dengan Polda. Saya minta tambahan bukti dan saksi, serta data post mortem yang lebih lengkap."
"Siap, mengerti," ucap ketiga anggota Unit Identifikasi tersebut.
"Mungkin kalian sudah dikasih tahu Saudara Budiman bahwa saya mengumpulkan kalian di sini untuk menunjuk pemimpin dalam kasus ini. Betul?"