Purworejo, Rabu, 10 September 1986
Lingkaran sumur tidak bergerak, namun lubangnya bergoyang-goyang tak beraturan pada permukaannya. Pantulan teracak-acak. Tali timba tembus ke dalam air ikut bergerak-gerak. Bukan lele-lele yang berebut air ludah. Bukan pula buaya yang mendapat umpan. Itu adalah manusia. Itu adalah Jalaini.
Jalaini muncul ke permukaan air; dia telanjang dada. Kemudian dia mendongak ke atas.
"Ketemu, Bung?" tanya Budiman sambil menutup hidung.
Sumur milik Pak Mulyono itu berbau busuk. Sangat busuk. Bahkan orang-orang yang di luar sumur juga menciumnya. Semua orang di sekitar sumur tanpa diberi instruksi pun menyumbat lubang hidung mereka dengan tangan masing-masing.
Berbeda dengan Jalaini. Mau tidak mau, Jalaini menahan sengatan bau dalam hidungnya. Jika tangannya digunakan untuk menutup hidung, maka akan semakin sulit saat dia menyalam untuk mencari potongan mayat.
Jalaini tidak menjawab pertanyaan Budiman. Bahkan pandangannya terhadap Budiman hanya datar saja. Dia ambil napas dari udara berbau itu lalu kembali menyelam.
Cahaya dalam sumur tidaklah seterang di luarnya, apalagi di dalam air sumur. Cahaya hanya sedikit mampu menembus gelap. Remang-remang, itulah keadaannya. Belum lagi keruhnya air tanah bercampur dengan darah.
Dari atas, permukaan air sumur tidak begitu banyak gerakan bahkan menuju tenang. Justru semakin tenang permukaan air itu semakin berdebar jantung yang melihatnya. Bagaimana keadaan Jalaini? Bisakah Jalaini bernapas? Apakah Jalaini menemukan potongan mayat itu? Apakah takdir nyawa Jalaini akan hilang bersama mayat di dalam sumur? Itulah pertanyaan-pertanyaan orang di atas permukaan tanah.
Tali bergerak.
Beberapa polisi dan warga mengintip sumur dari bibirnya.
Muncullah Jalaini ke permukaan dengan terengah-engah. Hanya tampak kepala hingga bahunya. Bagian lainnya masih terendam dalam air keruh. Jalaini kembali menatap ke atas. Dia mengangguk.
Ditariklah tali timba yang ujungnya mengikat pada dada Jalaini. Budiman menarik sambil memberi aba-aba.
"Tarik... Tahan... Tarik... Tahan... Tarik..."
Kepala Jalaini mulai tampak dari bibir sumur.
"Tarik... Tahan..."
Kepala hingga bahu Jalaini mulai tampak. Dia menunduk. Kedua tangannya mengarah ke bawah.
"Tarik... Tahan..."
Tampak Jalaini membopong sepotong dada hingga perut wanita. Isian perut siap mulai keluar. Kulit mayat itu sudah begitu pucat. Bau semakin menyengat. Lalat-lalat berebut menjilat setiap titik tubuh itu. Seutas tali melingkari potongan busuk tersebut. Tali rafia itu tepat mengunci di tengah.
Jalaini menatap para manusia di atas permukaan tanah. Semua menutup hidung. Sementara Jalaini tak mampu menutup indera penciumannya, padahal penyebab bau busuk itu tepat menempel di dadanya.
Usus lepas. Menggantung.
Wanita-wanita berteriak serentak seperti diberi aba-aba oleh dirigen.