JALAINI: Sumur-Sumur Mutilasi Berantai

Ikhsannu Hakim
Chapter #14

Pekerjaan Rumah

Garasi dibuka. Jalaini memasukkan sepeda ontel ke dalamnya dan diletakkan dekat sepeda motornya. Garasi dikunci dari dalam. Lalu diambilnya bungkusan plastik hitam yang dikaitkan pada sepeda tadi.

Jalaini menghidupkan lampu dapur. Dia mengambil talenan, cobek, wajan, dua panci, dan pisau. Keran pada wastafel dihidupkan. Peralatan masak itu dicuci kembali untuk menghilangkan debu-debu tipis yang kemungkinan menempel. Setiap panci diisi air tiga perempat.

Tibalah saatnya Jalaini membuka bungkusan kresek tersebut. Sepotong ayam utuh. Sudah tidak berbulu. Ayam tersebut dimasukkan ke dalam salah satu panci dan dialiri air hingga penuh. Setelah dicuci, ayam diletakkan di talenan. Pisau diambil. Kepala hingga leher dipotong.

Kepala ayam dimasukkan ke dalam panci berisi air bersih. Kemudian panci tersebut diletakkan di atas kompor. Kompor dihidupkan.

Tangan kirinya kembali mengambil pisau. Dipegangnya paha lalu kulit tipisnya diiris. Ditekuklah paha itu hingga terdengar sendi yang patah. Dia memisahkan paha atas dan paha bawah. Pada paha satu lagi dilakukan hal sama. Sementara pada ceker, Jalaini memotong bagian kuku-kukunya. Kemudian dibentangnya sayap. Mata pisau tepat memotong sendi itu. Begitu pula hal yang sama dilakukan pada sayap lainnya. Pisau digunakan lagi untuk memotong dada menjadi dua bagian. Isian dipisahkan.

Setelah ayam terpotong sempurna, Jalaini menyiapkan cobek. Diambilnya kunyit, merica, ketumbar, kemiri, bawang merah, bawang putih, jahe, hingga gula merah. Semua dicuci. Lalu semua bahan itu diulek untuk menjadi bumbu dasar kuning.

Kepala ayam diangkat dari panci lalu ditiriskan. Panci itu diganti airnya dan digunakan untuk merebus dua genggam cabai merah.

Wajan diambil untuk menumis bumbu kuning dengan api sedang. Kemudian dimasukkan lengkuas dimemarkan dan dimasukkan bersama serai, daun jeruk, dan daun salam. Barulah semua potongan ayam, termasuk kepala, dimasukkan dan diaduk hingga kaku. Dia mengambil plastik lainnya di dalam kresek itu; santan. Santan dimasukkan ke wajan. Wajan ditutup.

Jalaini mencuci tangan lalu ke ruang kerja. Dia mengambil peta yang sudah terdapat puluhan lingkaran tempat lokasi sumur. Tiga lingkaran pensil kini ditimpa dengan lingkaran tinta merah. Dia membaca laporan-laporannya dan juga anggota lainnya. Dipijatnya kening dengan jari telunjuk dan jempol. Lalu berganti menyilangkan kedua tangannya dan mengembuskan napas cepat. Sesekali bolpen merahnya digigit. Barulah bolpen itu difungsikan pada kertas kosong. Digambarnya lingkaran-lingkaran lalu dihubungkan dengan garis. Lingkaran-lingkaran itu diberi nama masing-masing pemiliknya.

Bolpen diletakkan.

Jalaini kembali ke dapur. Dimatikannya kompor pada panci isi cabai. Dia mengganti dengan cerek yang berisi sedikit air. Sembari menunggu mendidih, cabai merah ditiriskan. Setelah mendidih, air dimasukkan ke dalam cangkir yang berisi kopi hitam saja.

Kopi itu menemani dirinya hingga ke meja makan. Dibukanya tudung saji. Masih ada nasi seporsi dan sepotong telur dadar di piring. Dia memakan itu. Buku catatannya dibuka untuk menemani makan malamnya. Usai makan, dia mencuci piring.

Jalaini kembali ke ruang kerjanya. Dia membuka-buka laporan. Ketika melihat laporan Anggoro, dia berhenti membuka. Dibacanya laporan itu berulang kali. Anggoro tidak mencantumkan angka pada setiap potongan.

Cangkir yang telah kehilangan cairan hitamnya namun bersisa ampas dicuci oleh Jalaini. Kemudian kompor dimatikan. Lampu-lampu dimatikan. Termasuk lampu kamar.

Dia berbaring di kasurnya. Hanya suara jangkrik dan terkadang punguk yang menemani tengah malamnya. Tak ada suara manusia yang mengusiknya. Tenang. Tetapi matanya tak juga terpejam. Jemari kakinya menari tak beraturan. Jemari tangannya saling bercumbu secara berulang; jempol dengan jempol, telunjuk dengan telunjuk, hingga kelingking dengan kelingking. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga matanya menyerah untuk terjaga.


***


"Sudah pagi, Mas. Aku tahu kamu begadang semalam."

Suara wanita yang lembut memutus benang-benang mimpi Jalaini. Jalaini membuka matanya. Dia menyipit karena kelopaknya terlalu berat untuk membuka lebar.

"Tapi pagi ini kamu harus kerja, kan?"

Wanita itu terus mengajak Jalaini berbicara sambil membuka jendela kamar. Cahaya mentari menguasai gelapnya kamar.

Lihat selengkapnya