Pencarian jasad baru belum juga ditemukan hingga siang yang terik ditambah embusan angin laut. Lambung-lambung sudah menabuh untuk meminta asupan makanan agar bisa digiling. Tidak banyak warung sebagai tempat makan di sekitar lokasi yang diselidiki ketiga polisi. Salah satu warung yang ada yaitu warung lotek.
Sayur-sayur sudah direbus namun masih segar tertata di gerobak kayu. Sayur-sayur itu seperti daun bayam, kol, kacang panjang, dan taoge. Selain itu juga terdapat tahu, tempe, dan bakwan. Bumbu-bumbu berada dalam toples-toples kecil dan mangkok.
"Bu, lothek kulo sing paling puedes ndedes pokokmen1," pinta Budiman yang penuh kemantapan.
Jalaini menyusul. "Lotek saya enggak usah pedas-pedas ya, Bu."
"Mase2?" Si ibu penjual bertanya ke arah Anggoro yang membuntuti Jalaini duduk.
Anggoro mematung. "Mboten.3"
"Makanlah, Bung! Sepertinya kita sampai sore."
"Ndak apa-apa, Pak Budiman."
Penjual memotong pembicaraan Budiman dan Anggoro, "Unjukane4?"
Budiman memilih es teh. Jalaini juga sama-sama memilih es teh. Tetapi Jalaini menambahkan agar tawar saja.
Di masyarakat suku Jawa memang penggunaan kata teh (panas maupun es) ditujukan pada teh manis. Tentu ada sejarah yang menyertai dan selaras dengan budaya kuliner yang identik dengan rasa manis. Semua itu karena pada era penjajahan Belanda, masyarakat Jawa dituntut untuk menanam tebu. Pasokan tebu yang berlebih membuat masyarakat memanfaatkan rasanya sebagai campuran atau bumbu pada makanan dan minuman. Kebiasaan inilah yang mengakar hingga menjadi kebudayaan pada kuliner Jawa.
"Kulo mboten," ucap Anggoro sambil mengeluarkan sebatang rokok dari kemasannya.
"Panjenengan siam napa, Pak?5" tanya ibu penjual lotek.
Rokok direkatkan Anggoro pada ujung bibirnya. "Wonten6 korek?"
Si penjual memanggil anak gadisnya untuk mengambilkan korek dan membuat minuman.
Sembari menunggu gadis itu keluar rumah, dia ke gerobaknya untuk meracik pesanan. Kacang tanah goreng, bawang putih, bawang merah, asam jawa, gula merah, gula pasir, garam, penyedap rasa, dan cabai setan diulek pada cobek. Selain itu juga ditambahkan tempe serta terisi. Sedikit demi sedikit ditambah air. Ketika bumbu sudah siap, bayam, kol, dan kacang panjang diaduk bersama hingga bumbu itu merata.
Sementara itu ketiga polisi kembali membicarakan tentang kasus yang sedang mereka tangani.
"Kenapa jumlah batunya sama-sama tujuh?" tanya Budiman.
"Memangnya ada makna khusus?" Jalaini balik bertanya.
Anggoro memutar-mutarkan kemasan rokoknya. "Bisa jadi."
Mendengar jawaban itu, Jalaini menyernyitkan dahi. Dia meletakkan kedua siku di meja. Kedua tangannya saling menyilang santai. Badannya mencondong ke Anggoro yang duduk di depannya.
"Di Jawa suka dikait-kaitkan antara sesuatu dengan sesuatu..." Anggoro menjeda penerangannya.
Seorang gadis kecil memberi Anggoro sekotak kecil korek kayu bergambar kucing. Sedangkan Jalaini dan Budiman diberinya es teh. Jalaini meminta gadis itu untuk memberinya es teh yang tawar. Sebelum gadis itu pergi, Jalaini mengucapkan terima kasih.
Anggoro menyemburkan asap dari rokok yang baru saja dibakarnya. "Lihatlah! Masih kecil sudah cantik begitu, apalagi nanti sudah besar?" bisiknya.
"Bisa kita kembali ke topik daripada membicarakan kemolekan anak di bawah umur?" potong Jalaini.