Suara jatilan terdengar lirih dari tempat ketiga polisi mengecek salah satu sumur. Pengecekan sumur menjadi tidak begitu monoton dengan adanya iringan tersebut.
"Sudah ketemu, Pak?" tanya Jalaini pada Budiman.
"Belum."
"Saudara Anggoro, mohon ke sini!"
Anggoro mendekat.
Jalaini memulai arahannya, "Ini sudah TKP terakhir kan?"
"Ada satu atau dua potensi TKP lagi, siapa tahu dua kepala itu ada di situ," jawab Anggoro.
"Ya. Pak Kades pun belum mengabari padahal semua warga sudah melaporkan sumur masing-masing."
Jalaini menjeda tanggapannya. Dia menyilangkan kedua tangannya di dada. "Atau... Ada yang memang sengaja menyembunyikan?"
"Terus?" balas Anggoro.
"Cek semua sumur."
Budiman mengeluh karena itu tidak mungkin dilakukan hanya oleh mereka, tiga polisi.
"Enggaklah, Pak. Bukan hanya kita bertiga. Hari Senin kita ajukan ke Kanit untuk mengerahkan anggota Polsek sini dan Polres. Hari ini kita sudahi dulu. Pelaku memang belum bisa tuntaskan, namun siapa identitas kedua korban itu juga penting. Siapa tahu dari situ kita bisa tahu motif pelaku."
"Identitas korban?" tanya Budiman. "Bagaimana dengan dua gadis yang semalam kita bahas?"
Jalaini mencoba mengingat kedua nama gadis itu. "Siti Rosidah dan Mawarni?"
"Ya." Budiman menjawab dengan tegas. "Saudara sekalian tahu siapa Mawarni itu? Dia adalah anak dariā¦"
"Dalang."
Serentak Jalaini dan Budiman menoleh ke Anggoro karena jawabannya.
"Bung Anggoro tahu?" tanya Budiman.
"Ki Sutopo? Rumahnya di kecamatan sebelah."
Setelah berdiskusi, mereka merencanakan untuk ke rumah dalang yang pada malam satu suro memimpin pewayangan di desa itu. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.00, maka mereka memutuskan untuk ke kediamannya pada siang hari, setelah jeda istirahat dan ibadah salat Jumat.
***
Angkara gung ning angga anggung gumulung
(Kejahatan besar di dalam tubuh kuat menggelora)
Gegolonganira
(Menyatu dengan diri sendiri)
Triloka lekeri kongsi
(Menjangkau hingga tiga dunia)
Yen den umbar ambabar dadi rubeda.
(Jika dibiarkan akan berkembang menjadi bencana)
Dalang Ki Sutopo menyanyikan tembang pocung dengan nada berat. Suaranya diiringi getaran yang menggerogoti pita suara hingga dada. Senandungnya itu dirapalkan dengan memainkan wayang kulit Duryudana dalam cahaya remang. Wayang berwajah hitam dengan mahkota raja itu digoyang-goyangkannya seolah bernyawa. Wayang itu seolah menyerap energi sebagai wujud angkara gung.