Ketiga polisi keluar dari rumah dalang Ki Sutopo. Mereka pergi tanpa diantar pemilik rumah. Wajah mereka bertiga tampak lesu, terutama wajah Anggoro. Tak ada aura cerah dari mereka.
Tetapi memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ki Sutopo adalah lebih baik. Ki Sutopo dan istri perlu mengetahui fakta yang terjadi. Dan yang paling penting bagi polisi adalah tentang respon dari kedua orang tua yang anaknya diduga sebagai salah satu korban itu.
Terkejut, itulah ekspresi keduanya. Kata-kata yang muncul adalah tentang ketidakpercayaan pada apa yang telah diutarakan para polisi. Apalagi bukti belum kuat untuk menyatakan Mawarni adalah korban mutilasi. Namun demi memperkuat itu, para polisi meminta penjelasan ciri-ciri fisik Mawarni terutama bagian tubuh yang jarang diperlihatkan. Ciri-ciri itu memang mendekati mayat dengan simbol angka 2 dalam aksara Jawa itu. Suara Jalaini dalam menjelaskan tentang fakta itu terdengar berat dengan lendir yang tertahan di tenggorokan.
"Coba dicek lagi!" teriak istri Ki Sutopo.
"Akan kami cek kembali, Bu," balas Jalaini.
Sementara itu Ki Sutopo mengaku bahwa malam itu dia memimpin pementasan wayang secara penuh hingga dini hari. Dia hanya mengatur tim pertunjukan. Tak ada sempat untuk mengurusi hal lain. Bahkan dia tidak mengetahui bahwa anaknya menonton pertunjukannya. Ketika ditanya terkait orang suruhan, si dalang mengaku memang memiliki orang yang biasa untuk membantu tetapi tidak mau menyebutnya orang suruhan. Orang itu adalah penabuh gong yang saat malam pertunjukan juga hadir sebagai pemain cadangan. Dalam pengawasan dalang, orang itu juga tetap berada di dekat gong dan membantu pemain musik lainnya yang membutuhkan.
Istri Ki Sutopo berinisiatif memanggil kedua orang tua Siti Rosidah ke rumahnya. Kedatangan pasutri itu disambut oleh ketiga polisi. Sama halnya dengan pasutri Ki Sutopo, ketika polisi menjelaskan penemuan kasus mutilasi dengan ciri-ciri fisik mengarah ke anak mereka, mereka sangat terkejut. Kedua kaki sang ibu mendadak lemas tak berdaya. Bahkan ketika ciri-ciri fisik yang disebutkan sang ayah semakin menguatkan bahwa itu anak mereka membuat sang ibu menderu.
Kutukan demi kutukan terucap dari kedua pasutri tersebut. Mereka minta kasus tersebut diusut tuntas tentang kebenaran korban serta sosok pelaku. Mereka tidak memberi sedikit pun ampun bagi pelaku yang belum juga tercium aromanya.
Tidaklah heran jika akhirnya ketiga polisi memasang wajah mendung. Tidak ada kata. Tidak ada ceria.
"Sepertinya kita butuh hiburan sejenak untuk menjernihkan pikiran, meski kita juga bersimpati pada korban. Tapi sepertinya ndak salah jika kita memikirkan diri kita dulu sementara," usul Anggoro.
"Maksudmu?" Jalaini menyernyitkan dahinya.
"Kita ke desa Pak Jalaini. Ada pertunjukan, bukan?"
"Desa sedang berkabung kok malah ada yang mengadakan hajatan. Bulan Suro pula. Egois. Saya sih ndak mau ikut. Mending hiburan sama anak dan istri saja di rumah," tolak Budiman.
"Kabarnya para pemain dolalaknya cantik-cantik," goda Anggoro.
Budiman tidak memberikan respon.
Lalu Anggoro memandang Jalaini dengan senyuman. "Pak Jalaini belum pernah nonton dolalak, to?"
***
Pukulan pada gamelan berpadu dengan lantunan tembang dari pengiring pria nan lantang menggunakan bahasa Jawa. Bebunyian semakin meriah dari lonceng-lonceng yang diikatkan pada kaki dan tangan dalam setiap gerakan. Kuda-kuda tipis dari bambu meliuk-liuk seirama dengan bebunyian yang saling bercampur dengan harmoni. Para penunggang tak beralas menggiring kuda-kuda mereka dengan rapi sesuai koreografi.
Manusia demi manusia berebut untuk menonton pertunjukan gratis itu dengan pandangan tanpa halangan. Beberapa anak dipanggul oleh orang dewasa untuk mendapatkan kesetaraan pandangan, meski itu justru mendapat pandangan yang lebih baik dengan memakan hak mata para manusia lain di belakang mereka.
Tangan Anggoro menarik tangan Jalaini dari kelengangan menuju desakan antar manusia yang tak mau mengalah. Bahu Anggoro memaksa orang yang didorongnya untuk menggeserkan tubuh dan memberinya ruang. Satu demi satu manusia mereka lewati hingga akhirnya pandangan mereka bebas melahap pertunjukan jatilan. Sayangnya hanya butuh tiga gerakan dan sesi pertunjukan jatilan berakhir.
Tak ada kuda yang berayun untuk mereka berdua.
Musik dan iringan lagu berganti. Hanya musik dari sepasang alat musik kenong yang membunyikan not Do dan La. Itulah khas dari musik pengiring tarian dolalak.