Dedaunan, ranting-ranting, hingga beberapa kemasan makanan mengotori sumur yang dindingnya dikuasai koloni lumut. Airnya keruh bahkan tidak memberi kesempatan bagi siapa pun untuk mengetahui isi di dalamnya dari permukaannya. Tali timba menjuntai tanpa ember. Katrol besi sudah digerogoti karat tanpa menyisakan bagian mengilap. Begitulah keadaan sumur tua dari rumah reyot tak berpenghuni dalam kebun rimbun di belakang rumah Pak Pardi pada sore itu.
Melihat keadaan itu sendirian pada sore itu, Jalaini tidak mengucap sedikit pun. Gumam pun tak ada. Entah apa yang ada di pikirannya. Setelah sekitar tiga menit memandangi isi sumur, dia pergi menjauh.
Jalaini mengecek setiap sisi rumah gedek yang sudah lelah menahan beban genting-genting berlumut tersebut. Teras dihinggapi debu dan dedaunan. Ada beberapa jejak kucing. Tidak ada jejak manusia. Pintu depan digembok dengan gembok berkarat namun masih kukuh. Hanya ada suara tongkeret, rayuan dedaunan, dan gamelan yang lirih.
Diambilnya kerikil di dekatnya, lalu Jalaini berjalan ke belakang. Dia melongok lagi ke dalam lubang sumur. Tak ada perubahan pada sumur itu, hanya benda-benda yang terapung di permukaan air itu bergerak sangat sedikit karena embusan angin yang bergantian mengisi lubang sumur. Tangan Jalaini bergerak masuk ke lubang sumur. Dilepasnya genggaman dan kerikil pun terjun menembus permukaan air dengan sedikit beriak.
Sumur itu menjadikan tambahan koleksi lingkaran goresan pensil di peta. Tetapi lingkaran yang dibuat tangan kiri Jalaini itu dua kali lebih tebal dari lingkaran lainnya. Di sampingnya ditulis "Sumur Tua".
Kemudian Jalaini mencoret-coret isi salah satu bukunya. Garis demi garis digambar. Beberapa kata juga dituliskan pada lembaran tersebut. Garis saling menghubungkan setiap kata maupun frasa. Ini bukan cetak biru bangunan. Namun coretan dengan peta desa serta lingkaran-lingkaran sebagai dasarnya.
***
Malam gelap tak menyurutkan para penonton menyaksikan pertunjukan di rumah Pak Kandar. Pertunjukan sudah berganti pada jatilan dengan grup dan koreografi yang berbeda. Gamelan yang dimainkan lebih enerjik. Para penonton terbius pada gerakan demi gerakan para penari jatilan.
Sementara itu di tempat istirahat samping rumah Pak Kandar, para penari dolalak masih mengenakan seragam lengkap. Mereka beristirahat dengan memakan bungkusan jatah. Mereka memakan dengan lahap. Mungkin saja mereka memang begitu lapar karena di sela-sela antara pertunjukan pertama dan kedua, mereka tidak sempat untuk mengisi perut, hanya air putih.
"Sudah selesai tarian kedua," celetuk salah satu penari bernama Sarti.
Kantili, penari yang sempat kesurupan, mengeluhkan dirinya yang masih pening pada kepalanya. Salah seorang penari bertanya dengan nada ejekan, mau kesurupan lagi?