Purworejo, Minggu, 14 September 1986
Kerikil menghantam plastik hitam yang berisi sampah. Api semakin berkobar memangsa kresek hitam besar. Isinya berupa kertas-kertas, plastik, rafia, serta barang-barang yang tak lagi digunakan itu dilahap oleh jago merah tanpa kokokan di pagi itu. Semakin lama semakin berkurang sampah itu. Sebagian sudah berabu dan seperempatnya masih menunggu untuk disantap api. Sisa itu termasuk kertas dengan berbagai lingkaran serta garis-garis yang saling terhubung antar kata.
"Belum sarapan to, Pak?" Bu Poniah tiba-tiba mengejutkan Jalaini yang sedang menunggu sampahnya terbakar sempurna.
"Be-belum, Bu."
Bu Poniah tersenyum. "Sekarang saya tagih janji. Mumpung hari Minggu."
Gumpalan mendung tak mampu lagi menahan air yang dikandungnya. Tetes demi tetes terlepas dari awan dan terjun ke bumi yang kasar dan halus. Tetesan semakin rapat berbaris dalam menerjunkan diri. Mereka tidak pernah berpikir untuk apa mereka berada di bumi. Apakah untuk menyirami tanaman yang sudah lelah akan hidup? Atau untuk menyerap ke tanah dan nantinya diambil untuk dimanfaatkan lewat sumur? Atau justru untuk menyamarkan jejak-jejak? Mereka tidak peduli, mereka hanya mengikuti aturan alam.
Langkah-langkah kaki Jalaini menuju rumah Bu Poniah tak berjejak karena guyuran air hujan. Agar dalam rumah tidak basah, Bu Poniah menyiapkan keset untuk mengeringkan serta memberihkan alas kaki. Barulah Jalaini memasuki rumah tetangganya.
Telur asin diiris menjadi dua. Salah satunya diletakkan di atas piring berisi nasi putih yang sudah berada di atas nampan. Di samping piring terdapat semangkuk rawon, sup daging dengan kuah berwarna cokelat kehitaman.
Seporsi rawon dan nasi itu diangkat dari dapur menuju ruang makan. Ditaruhlah piring dan mangkuk itu di depan Jalaini.
"Monggo, dinikmati rawonnya. Mumpung masih panas," ajak Bu Poniah.
Terdapat meja makan persegi panjang yang sisi panjangnya masing-masing terdapat dua kursi dan di kedua sisi pendeknya terdapat satu kursi. Jalaini duduk di salah satu kursi di sisi panjang yang memunggungi arah pintu masuk. Sedangkan Bu Poniah dan suaminya, Pak Joko, duduk di depannya. Kursi lainnya kosong.
Pak Joko mengambil mangkuk berisi sambal di depannya untuk Jalaini. "Biar lebih nendang."
"Ya, terima kasih." Jalaini mengangguk dan menambahkan sambal itu ke hidangannya.
Mereka bertiga sarapan bersama. Sarapan dengan rawon panas ditemani suara rintik hujan dan hawa dingin. Namun ada sepiring nasi dengan porsi sedikit serta semangkuk rawon di sebelah Jalaini yang kursinya kosong. Makanan itu sudah ada dan belum disentuh sejak Jalaini mendatangi rumah itu. Bahkan ketika ada lalat yang hendak mencicip makanan berkuah pekat itu, dengan sigap diusir oleh Bu Poniah.
"Rum, mrene1 sarapan bareng!" teriak Bu Poniah dengan kepala melongok ke sebuah kamar. Kamar dekat dengan meja makan. Meski pintunya terbuka, pada posisi duduk Jalaini tidak bisa melihat isinya.
Tidak ada suara sedikit pun dari kamar dengan pintu putih dan gorden merah jambu itu.
Muncullah sesosok gadis dari kamar itu. Gadis yang sama di area penonton bersama Bu Poniah dan Pak Joko saat pertunjukkan jatilan dan dolalak. Gadis itu berusia 18 tahun. Rambutnya digerai panjang. Masih dipakainya baju tidur berwarna putih. Dia masih mengumpulkan nyawa. Pipinya juga masih bertanda garis bantal.
Duduklah gadis itu pada kursi kosong sebelah Jalaini.
"Harum. Anak ragil kami. Saudara-saudaranya merantau, jadi di sini dia seperti anak tunggal," tutur Bu Poniah dengan bumbu senyuman.
Jalaini mengangguk. "Saya Jalaini."
"Harum Laila nama panjangnya. Kelas 3 SMA. Lulus bisa langsung nikah," tambah sang ibu.
Seketika Harum melotot ke ibunya. Dengan tangkas, tangannya merangkam tangan Bu Poniah.
Hening.
"Mas Jalaini, korban belum juga teridentifikasi?" tanya Pak Joko yang memecah suasana sedikit hening itu.
"Belum, Pak. Beberapa orang dari luar desa sini melapor tentang kehilangan anggota keluarga mereka, khususnya wanita. Ketika kami cek dengan post-mortem2, ternyata ante-mortem3 tidak cocok. "
Kemudian Jalaini meneruskan santapan rawonnya.
"Harum pintar masak juga loh, Pak." Tiba-tiba Bu Poniah menuturkan hal di luar topik. Atau lebih tepatnya kembali ke topik awal yaitu perkenalan anaknya. Bu Poniah begitu menggebu seperti saat menawarkan Jalaini untuk sarapan bersama.