Purworejo, Selasa, 16 September 1986
Siapa yang pertama menyetarakan perempuan dengan bunga? Dan mengapa? Apakah karena aromanya, yang umumnya, semerbak wangi meski ada yang berbau bangkai? Apakah disebabkan oleh bentuk kelopaknya yang indah bahkan seperti organ intim? Pertanyaan lain adalah apakah bunga bisa disetarakan dengan pria karena ada bunga jantan? Atau pria hanya diibaratkan kumbang-kumbang yang mencelup pada berbagai putik bunga-bunga di taman?
Setiap bunga punya tahapnya. Awalnya hanya seperti daun. Namun terbentuklah bagian menonjol berupa kuncup. Kuncup tak mungkin didatangi kumbang, lebah, atau kupu-kupu. Putiknya masih tertutup rapat. Hanya serangga kurang ajar yang berani menyentuh putik yang masih terbungkus dalam kuncup.
Seiring berjalan waktu, kelopak-kelopak bunga bertumbuh. Mahkota tak lagi kuat menutup rapat. Lubang semakin terbuka hingga putik siap mendapat cahaya. Kelopak yang belum sempurna mekar pun sudah menawan. Aromanya sudah mengikat indera penciuman. Namun serangga waras yang akan berpikir ulang dalam instingnya untuk memasukinya. Hanya saja manusia lah yang karena ego tega memetiknya. Demi yang terkasih, katanya.
Jika saja bunga-bunga itu dibiarkan mekar sempurna, serangga-serangga akan rela mendatangi setiap putik ke putik lain untuk mengisap sari bunga serta menebar serbuk sari antar bunga. Secara alami kelopak-kelopak itu akan gugur. Gugurnya kelopak yang alami adalah sambutan untuk hal baru. Itu adalah tanda akan munculnya generasi baru.
Tetapi manusia memang bisa merampas hak alam. Kelopak-kelopak yang seharusnya menunggu gugur saat waktunya tiba, dicabuti oleh manusia untuk kebutuhan mereka. Aroma, warna, bentuk, hingga sari kehidupan dari bunga itulah yang dibutuhkan manusia. Bunga-bunga itu hanya pasrah pada nasibnya.
Begitu pasrahnya saat kelopak-kelopak bunga mawar merah, mawar putih, dan cempaka putih berjatuhan dengan tunduk pada hukum alam. Kelopak warna senada jatuh dengan lembut ke dalam lubang dalam hingga menyentuh permukaan air tenang. Sumur-sumur itu menjadi saksi gugur bunga.
Mata ibu penjual lotek membuka lebar. Jantungnya pun berdebar-debar. Dilihatnya banyak kelopak merah bunga mawar. Di permukaan air sumurnya semua tersebar. Teriaklah memekik. Para warga datang menilik. Sumur itu memang tertebar kelopak-kelopak merah mawar. Itu bukanlah khayalan.
Lalu datanglah para polisi. Jalaini dan kedua rekannya mengambil posisi. Para warga diminta menjaga jarak. Jalaini menimba air sumur. Diambilnya kelopak-kelopak itu dengan pinset. Dimasukkanlah beberapa di antaranya ke dalam plastik klep.
Berdirilah Jalaini dan menghampiri Anggoro. Diberikanlah plastik berisi kelopak bunga padanya. Kemudian dicarinya Budiman, namun tak tampak. Anggoro memberitahunya bahwa Budiman ada di jalur belakang.
Bergeraklah Jalaini ke belakang.
"Ada jejaknya?" tanya Jalaini.
"Ada..."
"Terus?"
"Lihat saja!" Budiman menunjuk ke bawah.
Jalan berupa tanah itu sudah tersapu. Dari bekasnya, sapuan itu dari alas kaki. Akan tetapi ukuran maupun jenis alas kakinya tidak begitu jelas. Sapuan itu ada di sepanjang jalan. Sapuan itu berakhir pada ujung jalan yaitu hutan.
Jalaini dan Budiman saling menoleh. Kemudian mereka sama-sama memperhatikan sekitar. Tidak ada pintu masuk atau keluar pada hutan itu. Tidak ada jalan lagi yang tampak.
"Saya ke sana. Bapak ke sana ya," suruh Jalaini.
Setelah Budiman melangkah ke kanan, Jalaini mengambil arah ke kiri. Jalaini terus berjalan menyusuri hutan.
Namun, tiba-tiba protofonnya berbunyi. Anggoro melaporkan bahwa ada temuan kelopak bunga lain di TKP lain. Jalaini meminta Budiman menemani Anggoro ke TKP lainnya itu.
Ditemukanlah di sumur Bu Darmi berupa kelopak-kelopak mawar putih. Anggoro menjumputinya dengan sarung tangan dan dimasukkan juga ke dalam plastik bening.
"Apa maksud mawar-mawar ini ada di TKP?" tanya Budiman.