Jalan Arini

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #1

Pagi yang Berbeda

Bab 1 : Pagi yang Berbeda

Pagi itu, matahari baru saja merangkak naik di ufuk timur, memancarkan sinar keemasan yang menerangi rumah sederhana keluarga Budi dan Arini. Udara pagi terasa segar, disertai aroma teh melati yang menguar dari dapur. Namun, suasana hati Arini tak secerah pagi itu. Ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja.

Budi, suaminya, yang biasanya menyapa pagi dengan senyum lebar dan tawa ringan, terlihat berbeda. Ia duduk di meja makan dengan ekspresi gelisah. Ponselnya digenggam erat, dan jarinya terus bergerak, membuka dan menutup aplikasi tanpa henti. Sesekali, ia melirik laar dengan tatapan cemas, seolah sedang menunggu sesuatu yang penting.

Arini berdiri di dapur, mengamati Budi dengan seksama dari kejauhan. Tangannya sibuk mengaduk bubur untuk Rara, anak bungsu mereka, tapi pikirannya penuh dengan tanda tanya. Suaminya tak biasanya seperti ini. Biasanya, ia adalah orang yang santai dan penuh perhatian pada keluarganya, terutama saat pagi hari yang menjadi momen keber mereka.

“Ayah mau sarapan?” suara lembut Aisha, anak sulung mereka, memecah keheningan. Gadis remaja itu berdiri di samping meja makan dengan senyum kecil, membawa sepiring roti panggang yang ia siapkan sendiri. Namun, Budi hanya mengangguk singkat tanpa menloleh. “Taruh saja di meja,” jawabnya, suaranya datar, tanpa emosi.

Aisha menatap ayahnya dengan raut bingung, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia meletakkan piring di meja dan kembali ke kursinya, memandangi ayahnya dengan diam-diam. Di matanya, ayahnya tampak seperti orang asing pagi itu, begitu berbeda dari sosok ayah yang biasanya hangat dan perhatian.

Arini, yang kini membawa semangkuk bubur untuk Rara, mendekati meja makan. “Mas, kamu kenapa? Kelihatannya sibuk banget,” tanyanya hati-hati. Ia menaruh mangkuk bubur di depan Rara yang sudah duduk manis di kursi, lalu berdiri di dekat Budi, menunggu jawaban.

Budi hanya menggelengkan kepala. “Enggak apa-apa, Rin. Lagi ada kersan sedikit,” jawabnya tanpa melepaskan pandangan dari ponselnya. Ia tersenyum kecil, tapi senyuman itu terasa dipaksakan, seolah untuk menenangkan Arini, bukan karena ia benar-benar merasa tenang.

Arini menghela napas, mencoba menahan kekhawatirannya. “Mungkin memang urusan kantor,” pikirnya, berusaha menenangkan diri. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Ia mengenal Budi lebih dari siapa pun, dan kali ini, ia merasa suaminya sedang menyembunyikan sesuatu.

Sementara itu, Rara memakan buburnya dengan lahap. “Ibu, nanti aku boleh main ke rumah Nia, kan?” tanyanya cerita. Suaranya yang polos dan riang membawa sedikit kehangatan di tengah suasana yang terasa janggal pagi itu.

“Ya, boleh, tapi jangan lupa kerjakan PR dulu,” jawab Arini sambil tersenyum, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahannya pada Budi.

Lihat selengkapnya