Bab 2 : Catatan Kecil yang Mengusik
Jawaban Budi membuat Arini semakin curiga. Nalurinya sebagai seorang istri mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan suaminya itu. Namun, ia memilih untuk tidak menekan suaminya. “Mungkin hanya soal pekerjaan,” pikirnya, mencoba menenangkan diri.
Setelah selesai membersihkan meja, Aisha bergegas ke kamar. Ia mengeluarkan kertas catatan yang ia temukan tadi dan memeriksa nomor telepon itu sekali lagi. Rasa penasaran semakin mengusik. “Mungkin ini nomor orang penting?” pikirnya.
Aisha membuka ponselnya dan mencoba mencari nomor itu di internet. Namun, hasil pencariannya nihil. Tidak ada informasi apapun yang bisa membantunya mengenali nomor tersebut. “Aku harus bertanya ke ayah nanti,” gumamnya. Tapi di dalam hati, ia tahu, ia perlu memilih waktu yang tepat.
Sementara itu, Rara masuk ke kamar Aisha, membawa buku catatannya. “Kak, bantuin aku dong, PR matematika ini susah banget,” keluhnya.
Aisha mengangguk, menyembunyikan kertas catatan itu di bawah bantalnya. “Oke, sini. Soal mana yang susah?” Ia berusaha mengalihkan pikirannya dari rasa pen tentang nomor itu dan fokus membantu adiknya.
Namun, sepanjang hari, pikiran Aisha terus melayang ke catatan kecil itu. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang penting di balik nomor telepon tersebut.
Di malam harinya, setelah semua anggota keluarga sudah tidur, Aisha kembali mengambil kertas itu. Ia memutuskan untuk mencoba menelepon nomor tersebut. Dengan hati-hati, ia menekan angka di ponselnya dan menunggu sambungan terhubung.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya ada yang mengangkat. “Halo?” suara seorang wanita terdengar di ujung telepon. Suara itu lembut, tetapi ada nada keraguan di dalamnya.
Aisha panik. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. “Maaf, saya salah sambung,” katanya buru-buru, lalu menutup telepon. Jantungnya berdegup kencang. “Siapa dia? Kenapa aku merasa dia kenal ayah?”
Rasa penasaran Aisha semakin memuncak. Ia memutuskan untuk menyimpan nomor itu dan mencari tahu lebih banyak esok hari. Namun, ia tidak menyadari bahwa aksinya menelepon nomor tersebut adalah awal dari rangkaian peristiwa yang akan mengguncang keluarganya.
Di kamar lain, Budi masih terjaga. Ia duduk di tepi ranjang, memandang ponselnya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Pesan dari Dewi, wanita yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, terus menghantui pikirannya. “Kenapa dia harus muncul lagi?” gumamnya.
Ponselnya bergetar, tanda ada pesan masuk. Budi membuka layar dan membaca pesan singkat itu. “Budi, aku harus bicara denganmu. Ini tentang Dimas.”