Bab 3 : Jarak yang Tak Terlihat
Arini mulai merasakan ada jarak yang aneh antara dirinya dan Budi. Sejak pulang dari kantor, Budi tampak lebih pendiam dan tertutup. Biasanya, Budi selalu menceritakan hari-harinya di kantor dengan penuh semangat, bahkan terkadang bercanda tentang rekan-rekannya yang konyol. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Arini mencoba memulai pembicaraan saat mereka makan malam bersama, tapi respons Budi hanya singkat dan terkesan tidak tertarik. “Banyak kerjaan, Rin. Besok kita bicara lagi,” ujarnya sambil berbaring membelakangi Arini di tempat tidur. Arini menatap suaminya dengan perasaan tidak menentu. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Budi, tetapi tidak tahu bagaimana cara untuk memulai percakapan lebih dalam.
Malam itu terasa panjang bagi Arini. Pikirannya berkecamuk memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Dia mencoba mencari tahu apakah ada perubahan dalam sikapnya sendiri yang mungkin membuat Budi merasa terganggu, tapi dia tidak menemukan alasan yang masuk akal. Akhirnya, dengan perasaan gelisah, Arini tertidur dengan perasaan tidak puas.
***
Keesoa paginya, Arini bangun lebih awal dari biasanya. Ia berharap bisa berbicara dengan Budi sebelum suaminya itu berangkat kerja. Namun, Budi sudah bangun terlebih dahulu dan sibuk mempersiapkan diri. Saat Arini mencoba mendekatinya, Budi hanya memberikan senyuman kecil tanpa kata-kata.
“Sudah siap sarapan?” tanya Arini berusaha mencairkan suasana. Budi hanya mengangguk dan melanjutkan aktivitasnya tanpa banyak bicara.
“Apakah ada yang ingin kamu ceritakan, Mas?” Arini memberanikan diri untuk bertanya.
Budi menghentikan kegiatannya sejenak, menatap Arini dengan mata yang tampak lelah. “Nanti malam saja, Rin. Aku benar-benar harus pergi sekarang,” jawabnya sambil menghindari tatapan Arini.
Arini hanya bisa menghela napas saat melihat Budi meninggalkan rumah. Ada perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Ia merasa semakin jauh dari suaminya, dan ketidakpastian ini mulai menggerogoti hatinya.
Di kantor, Arini mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Namun, fokusnya terganggu oleh bayangan Budi yang terus menghantuinya. Ia bahkan tidak bisa menikmati makan siang bersama rekan-rekannya seperti biasanya. Rekan kerja Arini, Lina, memperhatikan perubahan pada sahabatnya dan mencoba menghiburnya.
“Kamu kenapa, Rin? Tampak berbeda hari ini,” tanya Lina dengan nada penuh perhatian.
Arini tersenyum lemah. “Entahlah, Lin. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.”
Lina mengangguk memahami. “Kalau butuh teman curhat, aku ada di sini, ya.”
Arini merasa sedikit baik setelah berbicara dengan Lina, tapi perasaan gelisah itu masih ada. Ia berharap waktu bisa berjalan lebih cepat hingga ia bisa berbicara dengan Budi malam nanti.