Jalan Arini

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #4

Surat yang Membawa Masa Lalu

Bab 4 : Surat yang Membawa Masa Lalu

Siang itu, matahari bersinar terang, menerobos celah-celah jendela rumah sederhana milik keluarga Budi Wicaksono. Arini sedang duduk di ruang tamu, mengawasi Rara yang sibuk dengan tugas sekolahnya. Gadis itu menunduk serius, mengerjakan soal matematika sambil sesekali bertanya pada ibunya. Suasana rumah terasa tenang, seperti biasanya.

Tiba-tiba, terdengar suara bel dari pintu depan. Arini berdiri, melangkah ke pintu, dan mendapati seorang pria berseragam kurir berdiri di sana, memegang amplop cokelat besar.

“Selamat siang, Bu. Ada kiriman untuk Pak Budi,” ucap kurir itu sambil menyerahkan amplop tersebut.

“Terima kasih,” jawab Arini sambil tersenyum tipis, menerima amplop itu dengan hati-hati.

Setelah kurir pergi, Arini menatap amplop itu. Pandangannya tertuju pada nama pengirim yang tercantum di sudut kiri atas: Dewi Permatasari.

Jantung Arini berdegup kencang. Nama itu seolah menampar ingatannya, membawanya kembali pada percakapan singkat dengan Budi beberapa bulan lalu. Saat itu, Budi mengaku bahwa Dewi hanyalah seorang teman lama yang tak lagi memiliki tempat di hidupnya. Namun, kini nama itu kembali hadir, tertulis jelas di atas amplop yang berada di tangannya.

Arini berjalan perlahan ke ruang makan, mengambil gunting dari laci, dan dengan hati-hati membuka amplop tersebut. Walaupun dia tahu bahwa surat itu bukan miliknya untuk dibaca, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.

Di dalam amplop, terdapat selembar surat dan beberapa foto. Arini mengeluarkan surat itu terlebih dahulu, membuka lipatannya dengan tangan gemetar. Tulisan tangan Dewi terlihat rapi, tapi penuh dengan kata-kata yang menyakitkan.

“Mas Budi,

Aku sudah cukup lama menunggu kabarmu. Aku tahu ini tidak mudah untukmu, tapi aku harap kamu tidak melupakan tanggung jawabmu terhadap Dimas. Dia membutuhkan ayahnya, dan aku tidak bisa melakukannya sendirian. Jika kamu masih memikirkan masa lalu kita, aku berharap kamu bisa datang ke rumah untuk membicarakan semuanya.”

Mata Arini bergerak cepat membaca surat itu, tapi pikirannya berputar jauh lebih cepat. “Dimas?” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar. Nama itu belum pernah disebut oleh Budi. Siapa dia?

Arini menatap foto-foto yang masih tergeletak di atas meja. Dengan ragu, dia mengambilnya satu per satu. Foto-foto itu memperlihatkan seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun, wajahnya mirip Budi. Rambut hitam legam, mata yang tajam, dan senyuman kecil yang mengingatkan Arini pada senyuman suaminya di masa muda.

“Dia ... anak Mas Budi?” suaranya bergetar, meski hanya berbicara pada dirinya sendiri.

Sementara itu, Rara memanggil dari ruang tamu. “Bu, soal nomor tiga ini gimana sih? Kok aku bingung!”

Lihat selengkapnya