Bab 5 : Rahasia yang Mengusik Malam
Malam itu, setelah anak-anak tertidur lelap, Arini duduk di ruang keluarga, menatap ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Pikirannya jauh sekali melayang, bukan pada film yang tayang, melainkan pada surat yang tiba kemarin siang. Nama pengirimnya Dewi, tersebut terngiang-ngiang di benaknya. Nama itu bagaikan teka-teki yang meminta untuk dipecahkan, sekaligus momok yang membuat hatinya terus berdegup tak karuan.
Budi yang sedang duduk di sudut sofa, asyik dengan ponselnya sambil mencemaskan sesuatu, tampak terlihat santai padahal ia sedang sangat khawatir. Namun, Arini tahu betul suaminya. Ada sesuatu yang berbeda pada sikapnya sejak surat itu datang.
“Mas,” panggil Arini dengan nada lembut, berusaha tidak menunjukkan kekecewaannya terlalu terang-terangan.
Budi mendongak sejenak dari layar ponselnya, “Iya, Rin?”
Arini menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku mau tanya soal surat kemarin siang. Aku tidak ingin mencari masalah. Aku tahu siapa Dewi. Tapi, Dimas, dia anaknya siapa?”
Budi terdiam sesaat. Tatapannya kembali ke ponsel, seakan mencari jawaban di layar kecil itu. Lalu, dengan nada yang terdengar santai, ia menjawab, “Itu cuma urusan lama, kok. Gak usah dipikirin.
Jawaban singkat itu bukannya menenangkan hati Arini, malah semakin menambah kecurigaannya. Sikap Budi yang menghindar membuatnya yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Arini tentu percaya kalau Dimas adalah anak Budi, ia seperti mengenal siapa itu Dewi.
“Kalau memang urusan lama, kenapa dia masih kirim surat? Dan, kenapa kamu bicara tidak sesuai dengan pertanyaanku barusan. Ada apa sebenarnya, Mas?” Arini mencoba lagi, kali ini dengan suara lebih tegas.
Budi menghela napas panjang, menaruh ponselnya di meja, lalu menatap Arini. “Rin, kamu terlalu khawatir. Dewi itu cuma ... teman lama waktu kuliah dulu. Gak ada apa-apa. Percaya sama aku, ya. Dimas itu bukan siapa-siapa kok. Dia hanya anak dari Dewi, udah itu aja.”
Arini merasa ada sesuatu yang ganjil dalam cara Budi menjelaskan. Matanya tidak menatap langsung ke arah Arini, dan nada bicaranya terdengar tergesa-gesa, seperti ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan.
“Tapi kenapa surat itu ditujukan ke rumah kita? Kalau memang cuma teman lama, apa yang dia inginkan sekarang?”
Budi menggeleng pelan. “Aku gak tahu. Mungkin dia butuh sesuatu atau ingin mengucapkan selamat atas sesuatu. Sudahlah. Lupakan soal mereka berdua. Kalau kamu masih penasaran, apa perlu kubacakan suratnya?”
Namun, Arini tak merasa puas. Ia ingin sekali mendesak lebih jauh, tapi ia juga tahu bahwa Budi jarang terbuka jika ia terlalu keras mendesaknya. Akhirnya, Arini memutuskan untuk menahan diri, meskipun hatinya bergolak. Perubahan sikap Budi yang tidak seperti kemarin, membuatnya semakin meragukan suaminya itu.
“Baiklah, Mas. Kalau begitu, aku tunggu Mas yang kasih tahu apa maksud isi surat itu.” Arini mencoba menyembunyikan nada dingin dalam suaranya.