Bab 6 : Nomor Misterius di Kertas Kecil
Kamar Arini terasa lebih sunyi dari biasanya. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan, tetapi pikirannya masih terlalu gaduh untuk beristirahat. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memegang sebuah buku yang sejak tadi tak kunjung dibuka. Pikiran Arini terus melayang pada Budi, suaminya. Sejak pembicaraan mereka beberapa hari lalu, sikap Budi semakin sulit ditebak. Seperti ada yang disembunyikannya.
Pintu kamar terbuka pelan. Aisha, putri sulungnya, muncul dengan ekspresi penuh keraguan. Gadis itu menggenggam selembar kertas kecil di tangannya. Membuat semua pertanyaan muncul.
“Bu, Aisha boleh masuk?” tanya Aisha ragu-ragu sambil mengetuk pintu.
Arini mengangguk sambil tersenyum lembut, meskipun hatinya merasa was-was. “Masuklah, Nak. Ada apa? Kenapa kamu belum tidur?”
Aisha mendekati ibunya, duduk di tepi ranjang, lalu menyerahkan kertas kecil itu. “Tadi Aisha lihat Ayah nulis ini, Bu. Waktu Aisha masuk ke ruang kerja, kertasnya jauh di meja, jadi Aisha ambil. Siapa tahu Ibu mau lihat.”
Arini menerima kertas itu dan menatapnya lama. Deretan angka di sana tampak seperti nomor telepon, tetapi tidak mengenalnya. Ia mulai berpikir kalau nomor itu adalah milik Dewi.
“Nomor ini sepertinya penting buat Ayah, Nak,” gumamnya pelan.
“Menurut Ibu, ini nomor siapa?” tanya Aisha, mencoba menebak. “Apakah nomor teman Ayah?” lanjutnya.
Arini tidak segera menjawab. Ia hanya menggeleng, meski hatinya mulai dipenuhi berbagai dugaan. Apakah ini ada kaitannya dengan Dewi? Atau dengan Dimas? Atau bahkan sesuatu yang selama ini tak pernah ia tahu? Mungkinkah seperti itu?
“Bu,” Aisha memanggilnya lagi, mencoba menarik perhatian ibunya yang terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sejenak, Aisha mencoba menyadarkan wanita paruh baya yang terdiam sedari tadi.
“Ibu nggak tahu, Sayang. Tapi mungkin Ibu harus cari tahu,” jawab Arini akhirnya, setelah hampir tidak fokus dengan pertanyaan Aisha.
Aisha mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya menyiratkan kecemasan. “Bu, Aisha nggak mau sok ikut campur, tapi ... akhir-akhir ini Ayah ... kelihatan beda. Aisha juga sering lihat Ibu sedih. Ada apa, sih?”
Arini terdiam. Ia menyadari betul bahwa Aisha bukan lagi anak kecil. Gadis itu sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa ada sesuatu yang salah dalam keluarga mereka. Bagaimana mungkin ia menjelaskan semua ini tanpa melukai hati Aisha? Apalagi ada kemungkinan Dimas adalah anak simpanan ayahnya?
“Ibu lagi ada masalah sama Ayah, tapi kamu nggak usah khawatir. Semua ini akan Ibu selesaikan sendiri,” ucap Arini dengan nada selembut mungkin, memastikan putrinya tidak mencemaskannya lagi.
Aisha memandang ibunya lama, sebelum akhirnya mengangguk dan berdiri. “Kalau Ibu butuh cerita, Aisha ada di sini, ya. Aisha tahu Aisha cuma anak SMA, tapi Aisha pengen bantu. Aisha juga anak Ibu yang tertua. Jadi, Aisha harus melindungi Ibu dan adik Aisha.”