Bab 8 : Rasa Curiga yang Kian Menguat
Langit gelap tanpa bintang, hanya suara jangkrik yang terdengar samar di sela-sela keheningan. Arini djduk di ruang tengah, menggulung jarinya resah di atas buku harian miliknya yang terbuka. Halaman kosong di depannya seperti cermin, memantulkan kemosong hatinya yang perlahan-lahan terasa ganjil sejak beberapa minggu terakhir. Budi, suaminya, berubah. Ia tidak lagi seperti pria yang dulu ia kenal, pria yang selalu memberinya senyum hangat setiap kali pulang kerja, atau yang dengan ringan hati membantu menidurkan Rara setelah seharian bermain. Kini, semua telah berbeda.
Budi, pria yang sama, kini tampak asing. Ia kerap menghindar ketika Arini bertanya sesuatu, seolah ada rahasia besar yang tidak boleh keluar dari bibirnya. Ponselnya, yang dulu sering ia tinggal begitu saja di meja makan, kini tidak pernah lepas dari genggamannya. Bahkan, saat tidur, ponsel itu ia letakkan di bawah bantal, dengan layar selalu memghadap ke bawah. Arini tahu tapi dia diam saja.
Arini berusaha melawan rasa curiga. Ia bukan tipe istri yang suka berprasangka buruk tanpa alasan jelas. Namun, tanda-tanda ini terlalu sulit untuk diabaikan. Malam ini, perasaan itu kian mengusik pikirannya.
“Bu, besok Rara minta diantar ke sekolah ya,” Rara muncul dari kamar sambil membawa buku pelajaran. Gadis itu tampak bersemangat seperti biasanya, tidak menyadari beban yang dirasakan ibunya. Padahal dia pernah memergoki ayahnya.
Arini menoleh dan memaksakan senyum. “Tentu, Sayang. Jam berapa mau di antar?”
“Setengah tujuh. Rara ada tugas kelompok pagi-pagi,” jawab Rara sambil mencium pipi ibunya. “Ibu jangan tidur malam-malam lagi, ya. Nanti capek tau.”
Rara berlalu ke kamarnya, meninggalkan Arini yang masih termangu. Ia ingin menepati janji pada Rara, tapi pikirannya tetap tidak bisa tenang. Tepat ketika ia hendak menutup buku hariannya, suara langkah kaki terdengar dari luar. Arini mendongak dan melihat Budi melangkah keluar rumah sambil membawa ponselnya. Wajahnya serius, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Ia terlihat sibuk dengan dunianya sendiri.
Arini bangkit dari kursinya, diam-diam mengikuti langkah suaminya. Ia berhenti di dekat jendela ruang tamu yang sedikit terbuka, cukup untuk mendengar suara dari luar. Saat itu, ia melihat Budi berdiri di sudut teras, membelakan rumah, dengan ponsel menempel di telinganya. Suara Budi terdengar pelan, nyaris berbisik, tetapi cukup jelas untuk membuat dada Arini berdebar. Ia merasakan ketakutan yang tinggi.
“Sudah aku bilang, jangan telepon malam-malam seperti ini. Arini bisa curiga. Aku peringatkan kamu sekali lagi,” kata Budi dengan nada rendah.
Arini memegang bingkai jendela, tangannya gemetar. Ia berusaha mencerna kata-kata Budi. Kendati demikian, ia belum selesai memahami apa yang terjadi, suara Budi kembali terdengar.
“Iya, Dewi. Aku tahu. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Aku harus pergi sekarang.”