Jalan Arini

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #9

Ketika Hati Mulai Retak

Bab 9 : Ketika Hati Mulai Retak

Arini berdiri di dapur, memandangi panci berisi air yang mendidih. Suara gemericik air hampir menenggelamkan desahan napasnya. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri, mengulang-ulang adegan tiap hari ketika Budi kembali menghindar dari pertanyaannya. Sepiring nasi goreng dan segelas kopi sudah tersaji di meja makan, tapi tak ada tanda-tanda Budi akan menikmatinya. Seakan, ia sudah tak peduli dengan keluarganya lagi.

Langkah berat terdengar dari arah kamar. Budi muncul dengan kemeja kusut dan dasi yang belum rapi. “Aku pergi dulu,” katanya singkat, tanpa menatap Arini. Tangannya cekatan memasukkan ponsel ke saku celana, seolah benda itu lebih berharga dari sarapan yang telah disiapkan istrinya. Seperti sudah tidak menyayanginya lagi.

“Mas Budi ....” panggil Arini pelan, hampir seperti bisikan. Ia ingin sekali menanyakan tentang Dewi dan Dimas, tetapi yang keluar hanya, “Sarapan dulu, Mas. Aku sudah siapkan sedari subuh tadi demi, Mas.”

Budi berhenti sebentar, menggantungkan pandangannya pada pintu depan. “Nggak sempat. Aku harus cepat. Ada rapat pagi ini,” jawabnya tanpa nada.

Arini hanya bisa memandang punggung Budi yang menjauh, meninggalkan wangi sabun mandi yang samar di udara. Ketika pintu rumah tertutup, keheningan menyergap ruang tamu. Hatinya terasa kosong, seperti ruang itu sepi, dingin, dan berantakan oleh pertanyaan yang tak terjawab.

***

Aisha muncul dari belakang, membawa buku catatan kecil. Gadis itu sudah berpakaian rapi untuk pergi sekolah, tetapi ekspresinya penuh dengan keraguan. “Bu, Aisha mau ngomong sesuatu,” katanya sambil menarik kursi dan duduk di meja makan.

Arini memaksakan senyum. “Ada apa, Nak?” tanyanya lembut, meski hatinya seperti sudah tahu ke mana arah pembicaraan mereka ini.

“Aisha sering dengar Ayah ngomong sama seseorang malam-malam. Sepertinya wanita, Bu,” ungkap Aisha, suaranya bergetar. “Mungkin Ibu juga dengar, kan? Ayah selalu pelan-pelan kalau angkat telepon, kayak nggak mau ada yang tahu. Mencurigakan benar, Bu?”

Kata-kata Aisha seperti tombak yang menusuk hati Arini. Tangannya gemetar, tetapi ia segera menyembunyikannya dengan merapikan lipatan serbet di pangkuannya. “Nak, mungkin Ayah lagi kerja. Nggak baik berburuk sangka,” jawabnya datar, menutupi kegundahan.

Namun Aisha tak menyerah. “Tapi ini beda, Bu. Semalam Aisha lihat catatan ini di meja kerja Ayah loh Bu.” Ia menyodorkan secarik kertas kecil berisi deretan angka nomor telepon. “Aisha nggak tahu siapa, tapi ... waktu Aisha lihat, Ayah buru-buru nyimpan ini di laci. Kayaknya nomor itu penting banget.”

Arini menatap catatan itu, tetapi tangannya masih ragu untuk mengambil. Nomor itu seolah berteriak kepadanya, menyimpan misteri yang ia takutkan. “Aisha, ini mungkin cuma nomor kolega Ayah. Nggak boleh gitu sama Ayahmu.”

Namun, Aisha mendesak, “Kalau begitu, kenapa Ayah nggak mau cerita? Kenapa Ayah selalu sembunyi-sembunyi? Ibu harus tanya lagi ke nomor itu, biar semuanya jelas.”

Arini terdiam. Ia tak ingin melibatkan putrinya lebih jauh, tetapi di saat yang sama, rasa penasaran dan sakit hati bercampur menjadi racun yang menggerogoti kewarasannya. Semalam, ia memang sudah mencoba menelepon nomor itu lagi, tetapi suara di seberang membuatnya membeku. Dewi. Nama itu kini terasa seperti duri dalam daging, tak bisa dilepaskan tanpa rasa sakit yang luar biasa. Dia tak bisa menahannya.

“Aisha ....” Arini menggenggam tangan putrinya. “Kakak nggak perlu khawatir soal ini. Biar Ibu yang cari tahu sendiri.”,

Aisha mengangguk, tetapi raut wajahnya tampak muram. “Ibu, jangan biarkan Ayah bikin Ibu sedih terus. Kalau ada apa-apa, Aisha selalu setia untuk Ibu.”

Arini memeluk Aisha erat, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Di balik kekuatan yang ia tunjukkan, hatinya hancur berkeping-keping. Ia menahan tangisannya.

Lihat selengkapnya