Bagaimana seharusnya sebuah pertemuan itu setelah bertahun tak bersua? Saling lempar senyum? Saling bertukar kabar? Bertanya bagaimana jalan hidup saat ini, bertanya apakah sudah sama-sama bahagia. Mungkin seharusnya begitu, tapi kami tidak. Pertemuan itu lebih kepada ketidak sengajaan. Dan nyatanya satu kata pun sulit terlontar dari bibir.
Sore itu, hujan baru berhenti. Di penghujung Februari hujan seolah tak ingin rehat barang sehari saja. Cuaca begitu muram, matahari hanya melongok sekejap lantas menghilang. Bunga-bunga bakung tumbuh tanpa bisa dikendalikan, semak belukar pun begitu juga. Di jalanan, daun-daun gugur seakan menempel di trotoar, beberapa bagian begitu licin lantaran lumut. Sejak pagi itu gerimis turun meski tidak deras, angin turut meningkahi musim yang basah, payung tak bisa beristirahat barang sehari saja.
Di serambi rumah aku berhenti sebentar, payung sudah berkembang, sebelum melangkah keluar kubenahi dulu syal di leher. Angin bersemilir, dinginnya mengundang gigil. Sebenarnya aku ingin bergelung saja di tempat tidur, atau bermalas-malasan di sofa menonton film dan mengunyah kudapan, teh chamomile panas atau cokelat hangat tentu menambah sempurna kegiatan bermalas-malasan di tengah hujan. Tapi isi kulkas yang mulai benar-benar kosong memaksaku melangkah keluar. Swalayan hanya berjarak 500 meter, aku hanya perlu berjalan kaki untuk ke sana.
Deretan buah terhampar di bawah lampu neon yang begitu terang. Kupikir hujan akan menahan orang-orang untuk tidak pergi berbelanja, tapi tampaknya keliru, swalayan itu penuh. Bagian buah sedikit sesak. Dengan hati-hati aku mendorong troli, tumpukan buah melon menarik hatiku. Satu melon berukuran besar kuambil. Kutimang-timang sebentar, lalu perlahan kucium kulitnya. Dari ibuku, sejak kecil aku sudah belajar bagaimana memilah buah yang baik, salah satunya memilih buah melon. Jika kulit melon retak di kulitnya tak terlalu rapat, aroma yang dikeluarkan wangi, maka kemungkinan besar melon itu sudah matang dan manis.
"Kelihatannya yang itu manis."
Aku mendongak sebentar, lantas menoleh ke samping di mana suara itu terdengar. Lantas wajah itu kembali hadir di mataku. Aku pikir hanya ilusi, tapi tidak! Itu benar-benar dia.
"Kamu ...." Aku tak bisa mengeluarkan kata lain. Sungguh mati aku tak menyangka akan bertemu dengan dirinya lagi.
"Aku juga terkejut sepertimu." Diri tersenyum.
Kulihat dirinya berusaha untuk berlaku biasa, tapi tampak betul betapa kakunya dia saat ini. Wajahnya sedikit memerah. Matanya sedikit menggelepar seolah resah. Bibirnya masih berusaha menyunggingkan senyum meski patah dan senyum itu tak selesai.
"Bagaimana kabarmu?" akhirnya neuron otakku bekerja juga setelah mampet beberapa detik.
"Baik. Bagaimana denganmu?"
"Baik juga. Seperti biasa ...."
Mendengar jawabanku, tawa kecilnya terdengar, lantas dia menghela napas seolah menghalau nyeri di dada.
"Kamu memang seperti itu. Selalu baik. Selalu tak memiliki beban. Dan selalu tak memiliki kesedihan, meski sedang dalam keadaan kehilangan!"
Aku tercekat, dia seolah sedang meluapkan perasaan meski baru beberapa menit kami berjumpa. Buah melon yang wangi itu masih di tanganku, dia masih berdiri di depanku, orang-orang di swalayan masih bergerak seperti biasa. Tapi bagiku, seolah semuanya membeku. Orang-orang berubah menjadi manekin, suara musik di swalayan ini pun mendadak lenyap dan keadaan begitu hening. Dia masih berdiri dengan tatapannya yang sedikit menghakimi.
Bola mataku seolah menangkap aneka warna yang berpendar layaknya pelangi. Lalu deru mesin pendingin kembali menikam gendang telingaku.
Benarkah aku manusia seperti yang dia sampaikan tadi?