Aku lebih senang menyebutnya kedai kopi, sedang Diri lebih senang menyebutnya coffee shop. Aku duduk menatap secangkir cappuccino, di luar hujan lebat ditingkahi angin. Sesekali aku melirik ke lampu gantung, khawatir sebentar lagi mungkin akan mati lampu. Suara petir terdengar menyambar sesuatu, aku memejamkan mata. Diri masih tenang meneguk kopi panas miliknya. Matanya masih menatapku, seolah sedang menilai sesuatu.
“Akhirnya kita bisa ngopi lagi,” Diri meletakkan cangkirnya. “Bagaimana tempat ini? Kamu suka?”
“Lumayan.” Aku mengambil cangkirku sendiri dan meneguk isi cappuccino yang mulai hangat.
“Lima tahun. Waktu yang lama, tapi kulihat kamu tidak banyak berubah.” Diri menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Matanya tak lepas menatapku.
“Aku sudah banyak berubah.” Bisikku perlahan.
“Misalnya?”
“Aku lebih berani sekarang.”
“Oh! Dengan apa? Kegelapan? Ketinggian? Atau pacar?”
Kali ini aku tak segera menjawab. Kesal aku menatap Diri, tapi laki-laki muda itu seperti tak merasa bersalah. Wajah Diri masih menatapku seperti tadi. Apa yang berubah dariku? Tentu keberanian. Aku berani keluar dari rumah Mama setelah bertahun-tahun bersembunyi di sana. Berani hidup sendiri di sebuah rumah kecil. Rumah yang kubeli dengan uangku sendiri. Aku banyak berubah, jauh berbeda dari yang dikenal Diri bertahun lalu.
“Aku lebih berani menjalani hidup!” sahutku mantap.
Diri tertawa kecil, ada binar di matanya.
“Lima tahun aku pergi, ternyata tidak sia-sia. Senang mendengar kabar sebaik itu darimu!”
Aku tertawa perlahan. Bagiku hidup adalah permainan yang seringkali tak menarik sama sekali. Hidupku tampak menyenangkan, tapi seperti kado, semua itu hanya lapisan luar. Di dalam aku menyimpan banyak hal yang tak bisa kukeluarkan lewat kata-kata. Ada sesuatu yang terperangkap di dalam tubuhku. Salah satu orang yang tahu mengenai itu hanya Diri.
“Kamu sendiri, bagaimana bisa pindah ke daerah sini?”
Diri mengendikkan bahu. Senyumnya membayang di bibir. Diri memang cukup berubah, terutama rambutnya. Dulu rambutnya yang ikal dibiarkan panjang menyentuh bahu. Dulu cara berpakaiannya pun jauh lebih urakan. Diri suka sekali memakai kaos oblong, kemeja lengan panjang yang selalu dibiarkan terbuka, celana belel dan sepatu kets lusuh. Sekarang dia sangat berbeda. Usia tak berbohong, begitu matang dan menariknya dia sekarang. Rambutnya dipotong rapi, bahkan licin berpomade. Kemejanya rapi. Celana jeans miliknya tak selusuh dulu. Sepatu yang dipakai sekarang pun bersih. Di lengan tangan kirinya melingkar sebuah jam tangan.