Ada banyak hal yang kutakuti dalam hidup. Ketakutan untuk menjalani hidup, namun juga tak mau mati muda. Ada banyak hal yang membuatku takut, kegelapan, ketinggian, dan banyak hal lainnya. Gelap begitu menakutkan. Banyak waktu aku selalu ketakutan melihat gelap, seolah dari kegelapan akan muncul para monster yang akan menelanku. Monster yang datang dari bawah neraka. Ketinggian juga begitu menakutkan. Dari ketinggian aku khawatir jatuh ke bawah, terhempas di tanah dan berakhir menyedihkan. Pernah aku nyaris pingsan saat berjalan di jembatan penyeberangan orang. Kakiku mendadak lemas, kepalaku pening, di bawah mobil dan kendaraan lain hilir mudik. Bayangan di kepalaku menggambarkan bagaimana kalau aku jatuh terperosok ke bawah, pasti tubuhku menjadi dendeng.
Ketakutan-ketakutan itu membuatku tak leluasa. Sering aku menghindari banyak hal yang berurusan dengan gelap dan ketinggian. Berkemah dengan teman-teman di gunung selalu kuhindari, pergi naik pesawat sebisa mungkin aku hindari pula kecuali ketika diharuskan menggunakan pesawat untuk pergi ke luar negeri. Di pesawat aku selalu berusaha untuk tidur. Pikiran jelek selalu muncul ketika aku duduk di atas pesawat, bagaimana jika pesawat yang kutumpangi menghantam gunung, jatuh di laut, atau tergelincir di landasan pacu. Pesawat terbakar, terbelah, hilang di tempat yang entah, dan aku tak pernah bisa kembali.
Hidup seperti itu sungguh menyiksa, akhirnya seorang kawan baik mengatakan mungkin ada baiknya aku ikut club phobia.
“Harusnya kamu gabung saja di club phobia. Club berisi orang-orang yang selalu takut sepertimu!” ujar July saat melihatku ketakutan setelah naik ke lantai 10 apartemen miliknya.
“Club apa itu? Aku baru dengar.” Aku duduk di sofa kamar July dengan keringat bercucuran.
“Club phobia. Perkumpulan orang-orang yang punya phobia. Mereka berkumpul di sana, sharing mencari jalan keluar dari ketakutan-ketakutan sepertimu,” July menaruh segelas jus di meja depanku. “Kamu coba saja gabung ke sana. Siapa tahu sembuh kan.”
“Aku baru dengar club seperti itu.”
“Aku sudah lama dengar. Besok deh kuantar kamu ke sana!”
July mengantarku ke club phobia. Club itu berada di sebuah rumah tua. Rumah tua gaya jengki di daerah yang tenang. Mobil July berhenti di depan gerbang, sesekali dia menoleh ke dalam halaman.
“Kok sepi?” aku melongok keluar.
“Ada di dalam kelihatannya. Ayo turun!”
July keluar dulu dari mobil, aku mengikutinya. Rumah itu kelihatan sepi. Ada sebuah mobil di halaman, beberapa motor terparkir juga di halaman. July mengucapkan salam, aku mengikutinya dengan ragu-ragu. Tak lama seorang laki-laki setengah baya muncul. Penampilannya begitu heboh. Dia memakai topi koboi, syal di lehernya berwarna merah, bajunya lengan panjang dengan motif bunga-bunga, celananya ketat berwarna cokelat tua, sedang sepatunya bot berwarna putih.
“Selamat datang! Dengan siapa ini?” laki-laki itu tersenyum lebar.
“Perkenalkan saya July. Ini teman saya, namanya Dia.” July menarik lenganku.
“Oh!” laki-laki itu menoleh ke arahku.
“Saya Dia!”
Aku mengulurkan tangan, dengan ramah laki-laki itu membalas menjabat tanganku.