Akrofobia dan nyctophobia, itu dua nama phobia yang kutakuti setelah diberi tahu Justo. Dua phobia itu diderita banyak orang. Menurut Justo hal itu lumrah, cukup susah disembuhkan tapi masih bisa diatasi. Hari berikutnya setelah diantar July di pertemuan pertama, aku datang sendirian. July begitu sibuk, dia sedang mempersiapkan pernikahan dengan Regal. Saat aku datang, di halaman hanya ada mobil Justo dan sebuah sepeda motor. Hari ini Justo akan melakukan sedikit terapi untukku.
Dengan hati-hati aku memarkirkan mobil tepat di belakang mobil milik Justo. Begitu turun dari mobil, Justo kulihat keluar rumah. Dia berdiri di serambi dengan senyum khas miliknya yang begitu hangat. Hari ini dia memakai topi pet berwarna kelabu, kemeja lengan pendek Hawaii, celana berwarna putih, dan sepatu bot merah.
“Datang sendiri?” Justo berdiri mengamatiku baik-baik.
“Iya, July hari ini sibuk.” Aku menjabat tangan Justo.
“Oke, kita harus mulai mempersiapkan terapi untuk mengusir phobiamu ....”
Aku masuk ke dalam mengikuti Justo, di dalam rumah itu tak seramai kemarin. Hanya ada cowok berpakaian lusuh yang duduk di sofa sembari memejamkan mata.
“Ke mana orang-orang?” aku menoleh ke ruang televisi, tapi sama sekali tidak ada orang.
“Mereka besok baru kembali ke sini. Sedang menikmati hari bersama keluarga,” Justo duduk di sofa kulit ruang televisi. “Duduklah di sini, Dia. Kita tidak melakukan hal berat hari ini. Aku hanya ingin mendengarmu bercerita tentang ketakutanmu itu.”
“Masalah phobiaku?”
“Tentu saja. Ayo coba cerita kenapa kamu takut gelap dan ketinggian. Kemarin kita belum sempat sharing.”
Aku menghela napas perlahan, Justo menunggu dengan sabar. Lalu aku mulai bercerita tentang takut gelap terlebih dahulu.
“Usiaku baru lima tahun, tapi ingatanku cukup baik untuk mengingat hari itu. Hujan lebat saat itu, Justo. Dulu kejadian itu di rumah lama Mama. Kami masih tinggal di Slipi saat itu. Sejak sore hujan tidak berhenti, menjelang malam tiba-tiba listrik mati. Semuanya gelap. Aku sudah sempat tertidur, tapi tiba-tiba ketika terbangun karena keributan saat lampu padam, aku melihat sesuatu yang mengerikan. Di mataku tiba-tiba ada tanah lumpur bermunculan di dinding, kemudian ada bayangan hitam muncul dalam gelap,” aku bergidik. Semua bulu kudukku meremang mengingat kejadian malam itu. “Kejadian malam itu sangat mengerikan, Justo.”
Justo mengangguk-angguk, seolah dia memahami apa yang kualami dengan baik. Tapi tentu aku juga mengerti, Justo sudah memiliki banyak pengalaman mengatasi masalah phobia. Sudah banyak orang yang dia bantu dalam mengatasi phobia.
“Jangan tersinggung, apa yang kamu lihat itu bukan halusinasi?” Justo bertanya dengan begitu hati-hati.
“Aku merasa tidak sedang halusinasi!”