Kita semua selalu dekat dengan gelap. Bahkan ketika mata tertutup yang ada hanya gelap, tidak ada warna lain. Gelap dan hitam sama saja bagiku, muram. Meski pada kenyataannya, keduanya akan selalu ada. Lemah, setidaknya kata itu yang kerap keluar dari mulut orang-orang ketika tahu kalau aku selalu ketakutan dengan gelap. Di otakku seakan sudah terpatri tentang monster-monster dari kegelapan. Monster-monster itu begitu menakutkan, mereka melayang bahkan ada yang merayap dari tengah kegelapan. Jika semuanya gelap gulita dan bertahan dengan nyala api lilin, sering kali aku merasa lebih takut. Nyala api lilin yang tak seberapa membiaskan bayang-bayang benda di sekeliling. Kerap angin memainkan pijar nyala api lilin dan membuat bayang-bayang di sekitar nyala api seolah semakin hidup.
Sesak napas, berkeringat, dan kepala seolah berdenyut, tiga hal yang sering kurasakan ketika terjebak dalam kegelapan. Masih lekat di kepalaku ketika duduk di bangku SMP dan mengikuti acara perkemahan. Sesungguhnya aku ingin mangkir, ada beberapa cara yang kugunakan untuk menyingkir dari acara seperti itu, tapi Mama jauh lebih cerdik, dia bisa tahu kalau aku hanya malas pergi berkemah.
“Kenapa tidak mau berangkat?” Suara Mama terdengar iba, tapi sebenarnya dia sedang memancingku untuk keluar dari sakit tipuan.
“Kan sudah dibilang sakit.” Aku merajuk. Seluruh badanku kututup selimut sedang kepalaku berada di bawah bantal.
“Sakit? Demam seperti biasa atau sakit lainnya?”
“Kurang tahu, Mam.”
“Kamu harus Mama antar periksa ke dokter!” Suara Mama terdengar bertambah cemas.
“Tidak usah. Istirahat juga sembuh kok!” Aku mulai kalut. Dokter tidak mungkin berbohong, dan kebohonganku menyoal pura-pura sakit pasti terbongkar!