“Pemuda, ke mana langkahmu menuju?
Apa yang membuat engkau ragu?”
(Chaseiro, “Pemuda”).
Meski di meja tersaji ikan bandeng goreng, malam itu Airlangga lebih memilih sepiring nasi campur kecap yang ia taburi remukan emping. Ia tidak terlalu suka ikan bandeng karena duri-durinya yang terlampau rapat. Ibunya, Seruni, seakan mengerti. Diambilnya satu ikan bandeng, dan dengan telaten ia preteli duri-durinya. Di luar, hujan turun dengan deras. Sejak sore tadi, hujan belum juga berhenti mengguyur Kota Bandung.
“Nih, Ga, Ibu sudah pisahin duri-durinya,” kata Seruni lembut. Sepiring kecil suwiran daging ikan bandeng ia ulurkan kepada Airlangga. Pemuda itu nampak tidak bergairah, meraih piring kecil itu dengan wajah kuyu. Seruni sudah terbiasa dengan raut itu, raut murung yang nyaris setiap saat selalu menghinggapi wajah anaknya.
“Ga, minimarket baru yang di Balubur kayaknya udah beres dibangun. Sekarang pasti lagi nyari pegawai baru. Enggak ada salahnya kalau kamu nyoba ngelamar kerja ke sana.”