Siapa saja yang baru pertama kali melihat Kirani, kemungkinan besar akan langsung menebak bahwa perempuan itu adalah blasteran. Tubuhnya menjulang bagai atlit bola voli, pipi putih pucatnya dihiasi freckles, dan rambut panjangnya terpulas warna brunette alami. Mata bulat cokelatnya, juga hidung bangirnya, semakin menegaskan darah campuran yang mengalir di uratnya. Ibunya asli Bandung, dan ayahnya berkebangsaan Belanda. Lima tahun yang lalu setelah lulus SMA, ia hijrah dari Bandung, memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Ayahnya yang merupakan seorang pengusaha kaya menyewakannya sebuah kamar apartemen yang mewah.
Pagi itu, di kamar apartemennya, Kirani sedang bersama beberapa teman sekampusnya. Mereka memang sering menginap di kamar apartemennya, hahahihi mengisi malam dengan tiga tema obrolan khas perempuan “normal”; gosip, pria, dan fashion. Mereka baru saja bangun tidur beberapa jam yang lalu, masing-masing duduk di ranjang.
“Ni, pesen pizza, dong. Gua laper lagi, nih,” ujar Savitri, salah satu teman Kirani, seorang perempuan montok dengan wajah yang lebih tua daripada umurnya. Itulah sebabnya ia sering juga dipanggil 'tante’ oleh teman-temannya. Hal ini ditunjang riasan wajahnya yang seringkali tebal dan rambutnya yang tersapu bleaching perak, sehingga ia nampak seperti sosialita genit berusia setengah abad.
“Baru aja tadi makan bubur ayam, lu udah minta makan lagi. Perut lu banyak maunya,” sembur Kirani yang menyandari headboard ranjang, mendongakkan wajahnya yang sedari tadi menekuri layar smartphone.
“Yah, itung-itung cuci mulut, Ni.”
“Gila lu, cuci mulut pake pizza. Gua pesenin aja sekalian roti buaya, mau lu?” sengat Kirani, lalu kembali asyik dengan smartphone-nya. Rutinitas paginya memang mengecek akun-akun media sosialnya, mengecek seberapa banyak yang me-like unggahan fotonya.
Sejak kecil hingga dewasa, Kirani kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Ayah dan ibunya seringkali disibukkan oleh pekerjaannya masing-masing. Kirani terpaksa harus tumbuh di bawah asuhan pengasuh yang disewa orang tuanya. Inilah yang membuat Kirani selalu ingin menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Hal ini berlanjut hingga ia dewasa, termasuk kebiasaan mengunggah fotonya ke media sosial. Sehari ia bisa berkali-kali mengunggah fotonya demi mendapat banyak like. Demi tercapainya hal tersebut, Kirani menunjang penampilannya dengan barang-barang branded mahal yang ia beli dengan uang orang tuanya. Orang tua Kirani terkadang heran dengan perilaku boros anaknya. Tapi bagi mereka itu tidak masalah. Mereka menganggapnya sebagai ganti rugi atas waktu dan kasih sayang yang kurang mereka berikan kepada anaknya.
“Eh, tunggu, tunggu. Coba lu tebak, gua dapet WA dari siapa?” ujarnya tiba-tiba dengan wajah serius.
“Sang pujangga?” teman-temannya kompak menyahut.
Kirani mengangguk sambil tersenyum, lantas melemparkan smartphone-nya ke tengah ranjang. Seperti sekawanan anjing kelaparan yang dilempari sekerat daging, teman-teman Kirani berebut meraihnya. Sebentar kemudian kekeh tawa terderai dari masing-masing mulut mereka. Sang pujangga adalah julukan yang diberikan oleh Kirani dan teman-temannya kepada Airlangga. Julukan yang sebetulnya lebih bercitra hinaan ketimbang pujian. Airlangga memang sudah sejak SMA mencintai Kirani, sering mengiriminya puisi, tapi selama itu pula Kirani menampiknya. Lelaki itu memang tidak terlalu pintar berbahasa verbal, sehingga lebih memilih mengungkapkan perasaannya lewat tulisan.
“Gila, pagi gini orang lain pada sibuk nyari duit, ini orang malah sibuk bikin puisi,” ujar Vanka, perempuan dengan rajah kembang lotus di lengannya. Ia lantas memandangi botol-botol parfum yang berjejer rapi pada sebuah rak kaca di dekat meja rias. Ia selalu suka dan iri jika melihat-lihat koleksi parfum Kirani.
“Lu kalo pacaran sama dia bukannya kenyang dijajanin, malah kenyang dikasih puisi. Hari gini masih ngasih puisi ke cewek, hahaha,” sahut Meri, dara Ambon berwajah mirip Nina Simone. Diamatinya motif houndstooth yang menghiasi kuku jemarinya. Ia berniat untuk mengganti motif tersebut nanti sore.
“Lu enggak risih, Ni, hampir setiap hari dikasih puisi?” tanya Savitri cuek.
“Jelas risih, lah.”