Aku tidak tau apa tujuan hidupku, apa saja kelebihan yang bisa diunggulkan untuk meraih masa depan. Masuk ke kampus dan jurusan impian yang berhasil diraih setelah percobaan ketiga kalinya mengikuti SBMPTN, tidak mampu membuatku menemukan arah hidup.
Aku merasa salah jurusan sejak masuk semester tiga. Tugas semakin menumpuk, pelajaran semakin berat, dan semangat yang mulai kendor. Semua impian punah karena ekspektasi dari keluarga yang menginginkan aku menjadi seorang PNS setelah selesai kuliah.
Masuk semester lima Papa meninggal dunia secara mendadak. Duniaku hancur dan rasa ingin berhenti kuliah sangat besar, tetapi niat itu harus diurungkan karena takut membuat orang tua kecewa. Alhasil, aku harus menanggung keresahan ini sendiri dan melakukan semua hal yang berkaitan perkuliahan dengan terpaksa. Akibatnya IPK jadi jelek, di semester ke tujuh bermasalah dengan dosen, dan saat ini aku tidak memiliki semangat menyelesaikan skripsi.
Tanggal 15 Januari satu tahun yang lalu, menjadi salah satu hari yang tidak akan aku lupakan. Proposal skripsi yang aku kerjakan dengan penuh perjuangan, disobek begitu saja oleh dosen pembimbing---Pak Ruslan---di depanku dan beberapa rekan dosennya. Setelah puas menceramahi dan mempermalukan, Pak Ruslan mengusirku.
Mulai hari itu, aku tidak pernah menginjakan kaki ke ruangan dosen untuk konsultasi skripsi sampai hari ini.
***
Aku menarik napas panjang sembari mengelus dada beberapa kali untuk menenangkan jantung yang semakin berdetak kencang. Beberapa detik kemudian aku menggeser lambang telepon berwarna hijau di ponsel.
"Halo, Mamaku sayang," sapaku dengan suara ceria yang disengaja.
"Gimana skripsinya?" tanya Mama tanpa basa-basi.
Tetap mempertahankan senyuman yang tidak mungkin dilihat oleh Mama, aku menjawab, “Ditunda minggu depan, Ma, karena beliau masih sibuk penelitian."
Mama menghembuskan nafas kasar. “Dosen kamu itu ya, kenapa gak bisa prioritaskan kebutuhan anak bimbingannya dulu. Kalau gini ‘kan kamu yang rugi. Skripsimu kapan rampungnya. Ini udah dua tahun skripsimu digantung terus,” cecar Mama.
“Dosen itu bukan hanya ngajar aja, Ma. Mereka juga memiliki kewajiban melakukan pengabdian kepada masyarakat melalui penelitian. Wajar kalau mereka sibuk.” Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat.
“Ya sudah, apa mau dikata. Mama hanya takut kamu stres karena skripsi tertunda terus. Apalagi kita berjauhan. Kalau sakit, siapa yang akan mengurus kamu?” balas Mama dengan nada penuh kekuatiran.
Mataku berembun. Aku ingin sekali mengungkapkan banyak hal kepada Mama termasuk minta maaf karena selalu membohonginya. Sebenarnya baru tahun lalu aku mulai konsultasi skripsi, itu pun hanya dua kali konsultasi. Setiap kali Mama mengirim uang, aku pakai untuk membeli baju dan makanan secara online karena malas keluar kos.
Mama selalu percaya begitu saja ketika aku mulai berbohong. Seketika rasa bersalah menghantamku, membuat lelehan air mata mengalir begitu saja.
“Jangan kuatir, Ma. Aku selalu jaga pikiran dan pola makan supaya tetap sehat.” Aku mengontrol suara agar tidak ketahuan sedang menangis sambil menyingkirkan air mata.