Badanku mulai panas dingin saat memasuki gedung jurusan. Sudah hampir satu tahun tidak menginjakan kaki di tempat ini. Tiap kali bersitatap dengan orang-orang, aku merasa seperti dihakimi. Seolah-olah mereka ingin berkata padaku. “Ini dia mahasiswa abadi, yang skripsinya gak selesai.” Atau, “Dasar perempuan bodoh, gak mampu selesaikan skripsi tepat waktu.”
Mendadak ketakutan berada di tempat ini. Tanpa pikir panjang, aku mengambil keputusan dengan segera membalik badan dan melangkahkan kaki kembali ke kos. Biar saja nanti aku akan mengirim pesan pada Bu Sherli dengan alasan mendadak sakit perut.
Namun, rencana Tuhan berbeda dengan rencanaku. Saat sudah berada di luar gedung, tepatnya di area parkiran mobil dosen dan melewati sebuah mobil SUV, tiba-tiba pintu mobil itu terbuka. Perutku tiba-tiba melilit saat mendengar sapaan dari pemilik mobil itu.
“Rosa. Mau ke mana kamu?”
***
Aku kesusahan menelan ludah. Saat ini aku sudah berada di ruangan Ketua Program Studi. Ruangan ini dingin karena dilengkapi dengan AC, tetapi tubuhku rasanya panas dan keringat dingin mulai membasahi pelipis. Kemarin sore aku mendapat telepon langsung dari Bu Sherli, Ketua Program Studi untuk menghadap beliau di kampus hari ini selepas jam istirahat siang.
“Kamu kepanasan? Apa perlu saya turunkan lagi suhu AC-nya?” Ibu Serli mengambil remot AC, hendak memencet tombol di benda itu.
“Ti--tidak, suhunya sudah pas, Bu,” jawabku dengan kepala tertunduk sambil menyeka keringat dengan punggung tangan.
“Bagaimana kabar skripsimu?” tanya Bu Sherli dengan nada suara yang terasa asing di telingaku.
“Baik, Bu.” Aku meringis setelah menyadari jawaban bodohku.
Bu Sherli tersenyum geli mendengar jawabanku. “Jadi begini. Dua hari lalu saya minta data mahasiswa semester tua yang saat ini belum lulus dan nama kamu ada di dalam daftar. Oleh sebab itu, saya hubungi kamu untuk menemui saya, apalagi saat ini kamu sudah semester 13. Kesempatan kamu untuk menyelesaikan skripsi tinggal 4 bulan. Jika tidak selesai, maka kamu akan kami keluarkan dari kampus. Saya sebagai Kepro meminta kamu untuk segera menyelesaikan skripsi secepatnya. Kamu bisa?”
Aku reflek mengangguk dengan pandangan dan pikiran kosong. “Iya. Saya bisa, Bu, tapi---” Aku menggantung kalimatku.
“Tapi?” Bu Sherli menatapku dengan tatapan menyelidik.
“Judul saya belum ada yang disetujui oleh Pak Ruslan. Terakhir ada judul yang disetujui, saya sudah mengerjakannya sampai proposal, tetapi waktu itu proposal saya disobek dan harus ganti judul lagi, Bu,” jawabku gugup.
Bu Sherli tampak terkejut. “Lho, saya kira kamu tinggal menyelesaikan bab 4 dan seterusnya. Ya sudah, saya akan hubungi Pak Ruslan. Sekarang kamu janji sama saya kalau kamu akan menyelesaikan skripsimu.”