“Banyak revisi?” tanya Azada begitu aku keluar dari ruang dosen.
Aku mengangguk lemah. “Coretannya banyak banget.”
Azada menggerakan kepalanya naik turun sebanyak tiga kali. “Ya udah, kita revisi di perpus sekarang,” ajaknya.
“Makan dulu, yuk. Lapar.” Aku memukul perutku pelan.
Daripada memikirkan revisi, aku lebih menyukai memikirkan tempat mana yang harus aku tuju untuk mengisi perut yang sudah keroncongan karena belum sarapan dari pagi.
Aku mengajak Asada makan di warung yang berada di luar kampus. Lagi pula ketika masuk jam makan siang, kalau terlambat ke kantin pasti tidak akan kebagian tempat duduk.
Kami memilih makan di Warung Mbak Ami yang jadi favorit anak kos sepertiku karena makanannya enak, porsi banyak dan harganya sangat ramah di kantong. Begitu masuk ke dalam warung, aku memesan makanan untuk kami berdua, sementara Azada mencari tempat duduk.
Saat kami tengah menikmati makanan, tanpa permisi seseorang duduk di sebelah Azada. Aku membeku dan memandang orang yang duduk tepat di depanku. Dia balas menatapku, tapi aku terlebih dahulu menggunting tatapannya.
“Ka … eh, Pak,” sapa Azada antusias kepada pria yang membalas dengan senyum simpul. “Tumben makan di sini?” tanya laki-laki itu santai seperti sedang bertanya kepada teman seangkatan.
“Udah langganan dari masih jadi mahasiswa. Saya suka makanan di sini karena enak dan murah,” jawab pria yang paling aku benci, karena gara-gara dia aku harus mengulang mata kuliah yang diajarnya sebanyak dua kali.
Suka makanan murah atau emang pelit sama diri sendiri, batinku mencemooh pak dosen ini.
“Ah … aku sampai lupa kalau Pak Paris lulusan kampus ini,” sambung Asada yang dibalas dengan senyuman tipis dari Pak Dosen terjudes sekampus ini.
Kami menikmati makanan masing-masing dalam diam, tapi hanya berlangsung beberapa menit karena Azada mendadak heboh dengan pembicaraan mengenai olahraga sepak bola dengan Pak Paris. Aku sama sekali tidak mengerti, jadi membiarkan kedua pria ini saling bertukar cerita sementara aku fokus dengan makanan.
Sepanjang mereka berdua bicara, aku iseng melihat sekeliling dan beberapa perempuan kedapatan mencuri pandang bahkan ada yang terang-terangan melihat ke arah kami. Semua karena ada dua laki-laki yang memiliki paras yang enak dipandang, tetapi mereka berdua memiliki gaya berpakaian yang beda dan menurut standar masyarakat masuk ke dalam daftar pasangan idaman para wanita. Namun, menurutku mereka berdua biasa saja tidak ada hal yang istimewa. Apalagi Pak Paris, sudah judes, pelit nilai, disiplin tinggi. Pasti tidak ada Perempuan yang betah di dekatnya.
***
“Asa, aku pulang ya. Ngantuk nih,” kataku begitu keluar dari warung.
“Gak ada yang pulang. Ingat revisimu seabrek.” Azada menarik tas ranselku, otomatis tubuhku terbawa mendekat padanya.
“Azada! Apa-apaan, ih. Kasar banget jadi cowok!” teriakku yang berhasil menarik beberapa orang untuk memperhatikan kami. “Bikin malu. Azada, lepasin!”