Sudah setengah jam menunggu Pak ruslan yang sedang memeriksa proposal skripsiku di dalam ruangan dosen. Aku menyandar kepala ke tembok sambil memejamkan mata. Kilasan isi pesan-pesan jahat yang dilontarkan beberapa teman di grup memenuhi kepalaku.
Sekitar jam tujuh pagi, grup angkatan teman-teman kuliah yang biasa sepi kayak kuburan, mendadak ramai karena ada salah satu teman kami yang mengirim undangan pernikahannya. Otomatis notifikasi di ponselku berbunyi tiada henti karena pesan yang berderet masuk. Sontak salah satu temanku mulai iseng mengabsen anggota grup yang belum dan sudah menikah, kemudian percakapan berlanjut menanyakan tempat kerja kami masing-masing.
Aku hanya menyimak percakapan mereka sambil tertawa karena memang anak-anak kelasku mayoritas suka bercanda. Namun, suasana berubah suram saat seseorang menyebut namaku sebagai orang paling betah sebagai donatur tetap kampus karena belum kunjung lulus.
Kemudian beberapa orang mulai mengeluarkan ketikan yang menurut mereka candaan, tapi bagiku tidak lucu sama sekali. Mereka membandingkan aku dengan Romi---salah satu teman yang paling suka bolos---yang bisa lulus tepat waktu, ada satu teman yang menyuruhku sebaiknya mengundurkan diri dan menikah saja daripada menghabiskan uang orang tua. Jujur, aku paling tidak suka ketika candaan dengan membawa orang tua. Tanpa pamit, aku langsung memilih opsi “Keluar dari grup.”
Mungkin tindakanku dirasa berlebihan baik anak-anak di dalam grup, tetapi menurutku itu memilih keluar dari grup adalah tindakan paling bijak daripada harus menguras tenaga membalas pesan mereka dengan makian. Lagi pula selama mereka lulus, tidak ada satupun yang menghubungiku untuk sekadar menyapa dan menanyakan kabar. Jadi, tidak ada ruginya kalau aku hilang kontak dengan mereka. Lamunanku buyar ketika Pak Ruslan memanggilku.
“Arosa,” panggil Pak Ruslan dari tempat duduknya yang bisa aku lihat dari luar.
“Mata kamu sembab. Kurang tidur?” tanya pria itu begitu aku dipersilahkan duduk di kursi depan mejanya.
“Begadang sampai pagi, Pak,” balasku tidak berani menatap matanya.
“Ini kamu kerjakan sendiri?” Pria itu menunjuk proposal penelitianku.
“Iya, Pak. Saya kerja sendiri.” Jantungku berdegup kencang. Dalam hati bertanya apakah kali ini ada kesalahan?
“Bagus, kali ini revisimu tidak terlalu banyak,” puji dosen pembimbingku dengan bibir yang melengkung ke atas. “Saya kira kamu belum selesai karena kapasitas otakmu tidak memadai. Bahkan tahun lalu sempat plagiat skripsi orang. Ternyata kamu bisa juga, ya. Supaya kamu tau, tahun lalu sebenarnya saya ingin kamu langsung di dropout begitu ketahuan plagiat karya orang lain. Untung Bu Sherli berbaik hati dengan memberi kamu kesempatan kedua. Oke, sekarang di bagian ini kamu harus tambah penjelasan sedikit ….” Pak Ruslan mulai menjelaskan tiap coretan yang ada di lembaran proposal skripsiku, sementara aku menyimak dan mencatat setiap penjelasan dari pria itu. Tidak hanya itu, aku juga meminta ijin kepadanya untuk merekam percakapan kami agar aku tidak lupa.
20 menit kemudian aku keluar dari ruangan dosen dengan perasaan lebih ringan dan bahagia, karena revisi tidak terlalu banyak dan Pak Ruslan menyuruhku untuk mengirim hasil revisi lewat email. Kalau aku sudah revisi dengan benar, aku bisa ujian satu minggu lebih cepat dari jadwal yang ditentukan.
Aku mengambil ponsel di dalam tas hendak memberitahu Mama tentang progres skripsi. Saat menyalakan layar terdapat 10 panggilan tidak terjawab dari Mama. Aku mengernyit heran, tumben sekali Mama melakukan panggilan berulang, padahal aku sudah kasih info sebelum masuk ke ruang dosen. Apa ada sesuatu yang terjadi?
“Kak, Ini Ros,” sapaku begitu panggilanku di angkat oleh Kak Rani salah satu pekerja di rumah.
“I--iya, mbak,” jawabnya dengan suara bergetar. Hal ini semakin menambah kekuatiranku.
“Mama di mana, Kak? Aku telepon berkali-kali tapi gak diangkat, padahal sebelumnya ada 10 panggilan tak terjawab.” Aku telepon sambil berjalan dengan langkah pelan menuju gerbang kampus.