Cobaan apa lagi ini, ya ampun! Laptop yang menemaniku memperjuangkan hidup dari awal masuk kuliah, saksi aku menangis dan tertawa karena drama dan acara hiburan Korea, mendadak mati total. Segala upaya sudah aku buat tetapi tidak membuahkan hasil.
Rasanya seperti saat ini kita sedang ada urusan mendadak dan sangat penting di luar pulau, tapi ketika baru menginjakan kaki di bandara, pesawat sudah lepas landas. Panik tidak, pasti paniklah. Itulah yang aku rasakan saat ini. Tiga hari lagi penutupan pendaftaran seminar proposal dan laptopku enggan menyala. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
“Oke, tenang. Tarik napas … hembuskan … rileks.” Aku bermonolog di kamar kos.
“Ada apa, Kak?” seru Helda dari kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku.
“Laptopku mati … aku gak jadi ujian. Sial banget jadi orang, emang gak berguna.” Aku menjerit dengan lelehan air bening mulai berderai dari pelupuk mata.
Sesaat ada yang mengusap bahuku. “Ya, ampun, Kak. Kenapa nangis? Tenang dulu. Coba Kakak jelasin mungkin aku bisa bantu cari solusi.” Helda mengambil beberapa helai tisu dan membantu menyeka air mataku.
“Tiga hari lagi batas akhir daftar ujian seminar proposal dan kamu lihat sekarang, laptopku .…” Aku menekan tombol power dekat layar berulang kali, tetapi tidak bisa menyala seraya terisak.
“Sini coba aku lihat.” Helda mengambil laptop dari pangkuanku, melepas baterai laptop kemudian memasangnya kembali dan menekan tombol power sekitar tiga detik. Namun, hasilnya nihil.
“Kayaknya kita harus bawa laptop ini ke tempat service laptop deh, Kak. Kebetulan hari ini aku gak ada kelas. Ini juga baru jam sepuluh pagi masih ada banyak waktu, bila perlu kita tunggu aja sampai mereka selesai perbaiki laptop kakak. Gimana?”
Tanpa pikir panjang aku menyetujui usulan perempuan berkulit kuning langsat ini. Salah satu hal yang paling disyukuri para perantau yang tinggal di kos adalah akur dengan penghuni kos lainnya. Termasuk aku yang memiliki teman kos yang baik, ramah, saling tolong menolong layaknya saudara. Seperti saat ini, ketika satu-satunya hal yang terlintas dalam pikiran adalah aku pasti akan dikeluarkan dari kampus karena tidak mungkin mengikuti ujian seminar proposal dengan keadaan laptop yang sudah rusak. Helda datang membantuku memberikan jalan keluar.
Satu jam kemudian kami sudah berada di sebuah bangunan kecil di dalam gang yang ternyata dipadati oleh orang-orang, kemungkinan mereka juga ingin memperbaiki laptop mereka. Kata Helda, walaupun tempatnya kecil, tetapi cukup terkenal sebagai salah satu tempat service laptop terbaik di kota ini. Pemiliknya adalah seorang lulusan SD yang belajar otodidak tentang komputer dan segala seluk beluknya sehingga bisa membuka tempat service sekaligus mempekerjakan beberapa mantan anak jalanan.
Lima belas menit kemudian aku dilayani oleh salah satu pegawainya, dia bilang kalau laptopku baru bisa diambil dua hari lagi karena sedang banyak pelanggan yang mereka layani. Rasanya aku hampir gila, soalnya aku belum ada persiapan apa-apa untuk pendaftaran nanti. Proposalku di dalam laptop dan belum dicetak. Salah satu syarat daftar ujian adalah menyerahkan empat rangkap proposal ke sekretariat fakultas yang nanti akan diteruskan ke para penguji dan dosen pembimbing.
“Kalau sebentar sore bisa gak? Saya bayar lebih deh. Tolong, Kak. Aku butuh banget untuk ujian.” Kalau mereka minta biaya tambahan, aku akan kasih, serius.
“Gak bisa, Kak. Ini antriannya banyak,” sahut pegawai pria berambut gondrong ini.
“Saya bayar lebih deh, biar bisa ambil sore ini. Bisa ya, Kak,” Aku tersenyum ketika pria di depanku ini langsung menangguk dan menyebut nominal komisi tambahan yang harus aku bayar.