Jalan Masih Panjang

Nona Adilau
Chapter #10

10. Arosa yang Sulit Mengendalikan Emosi

Saat film berlangsung sekitar lima menit, ada sepasang cowok-cewek masuk ke dalam bioskop dan duduk persis di sampingku. Sontak wangi parfum cowok yang merebak masuk ke hidung mengganggu konsentrasiku. Hmmm ... aku pernah menghirupnya tapi aku lupa tepatnya di mana. Penasaran aku menoleh ke kanan, tetapi tindakanku ini membuat degup jantung bekerja lebih keras. 

Kenapa harus sangat kebetulan? Di antara banyaknya bioskop di kota ini kenapa dia harus nonton di tempat ini? Cepat-cepat aku mengarahkan pandangan kembali lurus ke depan dan menaikan kupluk jaket untuk menutupi profil wajahku darinya yang masih sibuk berbisik dengan wanita duduk persis di sampingnya.

Di pertengahan pemutaran film aku menggerutu pelan karena cukup terganggu dengan suara rengekan pelan yang berasal dari wanita yang datang bersama Pak Paris---dosen muda menyebalkan yang menjadi salah satu penghambat aku belum kunjung menyelesaikan skripsi.

“Azada … Zada.” Aku menarik lengan baju cowok yang duduk di antara aku dan Helda.

“Apa?” Azada menoleh ke arahku, tetapi sontak bersorak heboh sambil menunjuk orang yang duduk di sebelah kananku. Aku memukul lengannya untuk diam seraya mempertahankan posisi duduk yang menyamping ke arah Azada, sengaja agar Pak Paris tidak melihat wajahku. 

“Stttt … berisik!” tegur salah satu penonton yang duduk di belakang kami. Aku menoleh ke belakang dan mengerakan kepala naik turun meminta maaf pada mereka.

“Heh, diam! Kamu ditegur sama orang di belakang,” bisikku penuh penekanan di telinga cowok itu, tetapi di respon dengan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya bersamaan ke arahku.

“Kamu pindah sini aja deh, biar kompakan heboh dengan dua orang di sampingku. Dari tadi lumayan terganggu dengan kebawelan pacar Pak Paris. Jadi orang kok gak bisa diam sih, dia kira lagi di stadion nonton pertandingan sepak bola kali ya.” Aku bangkit berdiri dengan posisi tubuh membungkuk setelah Azada menyetujui ideku untuk bertukar tempat duduk.

Ternyata bertukar tempat duduk dengan Azada bukanlah keputusan yang baik, karena suasana semakin berisik. Azada dan dosen berusia 28 tahun itu sesekali berdiskusi dengan suara yang lumayan mengganggu. Beberapa kali aku mendengar dehaman keras yang berasal dari berbagai penjuru bioskop ini. Otomatis aku tidak menikmati sisa tayangan video yang diputar di layar raksasa itu sampai selesai. Dadaku mendadak terasa penuh, suasana hatiku mendadak kacau dan diliputi amarah yang membuat mataku seketika memanas. 

Mungkin karena akumulasi peristiwa tadi pagi atau sudah seminggu ini aku menangis, tiba-tiba saja tetesan bening jatuh perlahan menelusuri pipiku begitu munculnya credit title di akhir film dan beberapa pengunjung sudah meninggalkan bioskop.

“Kak, kamu baik-baik aja?” Helda bertanya padaku dengan nada panik sambil membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar tisu.

“Ros, kamu jangan becanda. Film ini happy ending lho. Kamu terlalu sayang sama si penjahat sampai kamu tangisi kematiannya?” Azada mencoba berkelakar di tengah tangisku, tetapi usahanya sia-sia karena perkataannya membuat volume tangisku meninggi. Mungkin saat ini aku sudah menjadi pusat perhatian para penonton yang masih berada di studio, sehingga membuat Azada dan Helda mendadak panik membujukku. 

“Hei, udah gede jangan merepotkan orang lain. Cepat keluar! petugas udah siap bersihin ruangan ini.” Dosen menyebalkan itu membuka suaranya yang tentu saja berupa kalimat yang tidak membangun sama sekali, tetapi perkataannya seketika membuat tangisku berhenti.

“Ris, keluar yuk. Kebelet pipis nih,” rengek wanita yang mungkin pacarnya Pak Paris yang suaranya terdengar sangat menyebalkan. Aku bangkit berdiri dari tempat duduk sambil mengusap air mata menggunakan tisu yang diberikan Helda. Lalu melangkahkan kaki terlebih dahulu keluar dari studio bioskop tanpa menoleh ke arah dosen muda itu yang kulewati begitu saja.

Lihat selengkapnya