Ternyata Kak Amelia bukan pacar Pak Paris, melainkan sahabatnya. Kenyataan ini tidak berpengaruh sama sekali dengan kelangsungan hidupku, tetapi tidak dengan Helda. Dia berkali-kali lipat bahagianya setelah mengetahui Pak Paris masih jomlo.
Kayaknya mereka memang pacaran, hanya saja Pak Paris ingin menyembunyikan fakta ini dengan mahasiswanya karena ini masuk ranah privasi.
Pak Paris yang dikenal sebagai seseorang yang tegas dan bermulut pedas, tidak mungkin memperlakukan seorang perempuan yang bukan pacarnya dengan sangat lembut dan tahan menghadapi sikap manja sahabatnya itu. Aku sedang membayangkan kalau mereka adalah aku dan Angkasa. Sudah pasti aku akan dimarahi.
“Kak … eh, Pak, saya pindah ke depan, ya. Kasihan nanti Pak Paris dianggap supir kami berdua,” ungkap Helda begitu Kak Amelia turun dari mobil.
Tanpa menunggu persetujuan pria itu, Helda membuka pintu mobil dan berpindah duduk di sebelah Pak Paris. Aku mengerjap mata berkali-kali kemudian berdecak karena tidak menyangka Helda yang aku kenal sebagai gadis kalem, bisa berubah agresif.
“Saya belum ijinkan kamu untuk pindah ke depan!” seru pria itu dengan kesinisan luar biasa. Aku merutuki kecerobohan Helda yang hanya minta maaf dengan tawa canggung. Semoga Pak Paris tidak tersinggung dan menurunkan kami di sini.
“Kamu seangkatan dengan Arosa dan Azada?” tanya Pak Paris kepada Helda setelah melajukan mobil. Syukurlah dia tidak tersinggung, tetapi nada bicaranya tetap ketus.
“Tidak, Pak. Saya baru semester tujuh,” jawab Helda.
“Berarti sudah hampir selesai ya? Saya doakan semoga kamu bisa fokus menyelesaikan studimu dan jangan kebanyakan bergaul dengan Arosa. Bisa-bisa kamu ketularan telat lulus,” tukas Pak Paris dengan tidak ada rasa bersalah telah menggunjing diriku.
“Saya dengar, Pak. Terima kasih nasehatnya,” sambungku dengan kepala yang siap menyembulkan asap.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua berbagi cerita, sedangkan aku hanya menyimak di belakang. Pak Paris sebenarnya ramah dan dekat dengan mahasiswa, bahkan beberapa kali nongkrong dengan teman-temanku dan bergabung dengan klub futsal bersama Angkasa. Namun, dia akan sangat sinis ketika berhadapan dengan mahasiswa yang pernah bermasalah dengannya termasuk aku.
“Nanti aku temani Kakak daftar ujian proposal ya,” pinta Helda sambil menggandeng tanganku ketika selesai menggembok pagar, setelah mobil dosenku berlalu meninggalkan kos kami.
“Bilang aja pengen ketemu Pak Paris,” godaku yang disambut cengiran cewek itu. “Kamu beneran naksir dosenku?” Aku meneliti wajahnya yang berubah memerah.
Kelihatan banget dia naksir pria itu.
“Belum naksir sih, tapi kagum aja. Masih muda, pintar, baik hati, ramah---”
“Aduh, jangan cepat percaya dengan tampilan luar. Sudah kubilang dia itu gak ramah. Kamu hanya orang baru yang belum tau aslinya,” tampikku sewot melihat kelakuan Helda yang berubah jadi centil.
***
Aku sedang menunggu Azada yang sedang konsultasi terakhir sebelum proposalnya di ACC dosen pembimbing, meskipun suasana hatiku belum membaik.
Tadi pagi aku kasih tau Mama mengenai laptop yang mati total, tetapi responnya membuat kecewa.
Mama bilang akan mengusahakan meminjam laptop saudara yang tidak terpakai untuk dikirim kepadaku karena tidak bisa membeli laptop baru.
Kalau sudah seperti ini, membuatku merutuki diri yang sudah tidak memiliki dana darurat karena sudah dihabiskan untuk berbelanja dengan alasan self healing dan self reward.
“Masih pagi udah kusut aja itu muka,” cecar Azada saat aku baru mendaratkan bokong di bangku sebelahnya.
“Aku lagi banyak pikiran. Laptop mati total kemarin. Bisa aja pinjam laptop Helda untuk ujian proposal nanti, tapi nggak mungkin aku pinjam laptopnya terus-terusan untuk revisi dan lanjut kerja skripsi.” Aku meremas kepala yang mendadak pusing sampai rambutku berantakan.