Menahan rasa malu akhirnya aku harus meminjam uang pada Azada. Katanya tidak perlu dikembalikan, tetapi aku tetap berjanji akan mengembalikan uangnya. Entah dengan cara apa akan menggantinya yang penting aku tidak mau menambah rasa malu dengan tidak membayar utangnya.
“Maaf ya mbak, merepotkan. Tadi pakai uangnya siapa?” tanyaku sungkan kepada Mbak Reni---gadis manis asal Jawa Tengah yang menerima paketku.
“Aku pinjam uangnya Pak Nurdin. Nanti aja balikinnya. Si bapak udah tidur,” sahut Mbak Reni sembari terkekeh geli.
Aku mengucapkan terima kasih dan kembali ke kamar dengan paket berada di pelukan. Saat membuka pintu kamar, terdengar ponselku berbunyi.
“Nak, barusan Mama udah transfer uang ke rekening kamu ya.” Ada diam sejenak sebelum Mama melanjutkan. “Kayaknya ini transferan terakhir untuk kamu,” jelas Mama dengan suara bergetar.
Kegiranganku hanya berlangsung beberapa detik diganti dengan perasaan sedih dan sedikit kecewa. “Maksud Mama gimana? Kita gak sedang bangkrut ‘kan, Ma? Kok kirimannya nggak selancar dulu?”
“Nggak bangkrut, tapi pendapatan toko sedang menurun karena lagi sepi. Jadi kita harus berhemat. Maaf ya, Nak. Mama harap kamu bisa secepatnya pulang.”
Aku tidak bisa lagi menahan laju air mata. “Kalau uangku habis gimana?” Aku mulai merengek.
“Mama udah hitung semuanya. Asal gak boros, pasti bisa sampai kamu selesai ujian.”
Tubuhku lunglai. Aku berbaring tak berdaya di atas tempat tidur sejak lima puluh menit mengakhiri telepon dan aku memeriksa jumlah saldo melalui e-banking.
Kurang banget uangnya. Gimana ini. Mana aku udah ikut booked slot PO baju harga Rp 400rb. Aduh gimana ini?
“Mbak Ros … Mbak Ros,” panggil seseorang di balik pintu kamar.
Aku bangun dengan malas seraya menghapus air mata. Rupanya Shintia, pemilik kamar nomor 01 yang membawa nasi kotak. Salah satu kebiasaan baik di kos ini, kalau ada makanan lebih suka berbagi ke teman yang lain.
Tuhan baik banget, tau aja aku harus berhemat, Dia mengirimkan seseorang memberi makan malam. Kebetulan aku belum beli makan.
“Kamu tau banget aku lagi kanker. Terima kasih Shintia yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung,” candaku menerima nasi kotak itu.
“Halah, masa seorang Mbak Rosa kantong kering. Gak mungkin banget … sama-sama, Mbak,” sahutnya sebelum kembali ke kamarnya.
Nah, ini salah satu kelemahan orang yang suka bergaya melebihi isi dompet kayak aku. Tidak ada yang percaya kalau aku mengatakan tidak ada uang.
Tadi saja Azada sempat mengira aku bercanda ingin meminjam uang padanya. Dia baru percaya setelah aku menunjukan jumlah saldo ATM lewat aplikasi e-banking. Kayaknya aku harus mulai membuat rancangan anggaran bulanan, biar uang di dalam rekening bisa cukup sampai selesai ujian skripsi.