Mental dan fisikku benar-benar terkuras habis. Di depan beberapa mahasiswa yang hadir termasuk Azada di ujian seminar, aku ‘dibantai’ oleh para penguji. Beruntung Pak Ruslan mau sedikit membantu dan menjelaskan kepada para penguji mengenai isi proposalku. Hanya satu pertanyaan yang bisa aku jawab, sisanya aku hanya berdiri mematung dengan cucuran keringat yang mengalir dari pelipis dan punggung.
Malu sekali dengan semua orang terutama dosen pembimbing. Beliau masih belum pulih total, tetapi berusaha mengatur jadwal agar aku bisa ujian. Rasa bersalah ini membuat tangisku pecah begitu penguji meninggalkan ruangan. Pak Ruslan menghampiri dan menepuk pelan bahuku.
“Yakin proposal ini kamu yang kerjakan sendiri? Kok pertanyaan mudah saja kamu nggak bisa jawab?” tanya Pak Ruslan dengan nada menyindir.
“Nggak, Pak. Saya yang kerja sendiri. Maafkan kesalahan saya karena tidak belajar dan tidak menguasai materi,” ujarku sehabis menghapus air mata.
Pak menggeleng sambil berdecak. “Kamu bikin saya malu, tapi sudahlah semua sudah terjadi. Di ujian skripsi nanti, saya nggak akan bantu kami dan nggak mau lihat kejadian seperti tadi!” tegas Pak Ruslan kemudian meninggalkan ruangan.
Menjelang ujian, aku begitu percaya diri akan menghadapi ujian dengan lancar karena merasa sudah menguasai semua materinya. Apalagi aku sendiri yang mengerjakannya dan membuatku tidak belajar mulai dari H-2 sebelum ujian.
Aku terlalu menggampangkan ujian ini. Akibatnya saat berada di dalam ruangan ujian dan melihat banyak orang yang hadir, termasuk para penguji yang terdiri dari dua orang dosen yang terkenal killer, membuatku mati kutu. Semua materi yang sudah aku hafal buyar begitu saja.
Azada mungkin mengerti suasana hatiku, sehingga dia tidak mengajak bicara selama di dalam mobil menuju kosku.
“Ros, aku bangga sama kamu yang keren banget saat presentasi tadi. Aku aja kemarin banyak salah, akhirnya hanya cengengesan aja sampai dimarahi dosen pembimbing,” ungkap Azada disertai kekehan, ketika aku mengucapkan terima kasih saat mobil sudah berhenti di depan kos.
Aku menoleh dan tersenyum tipis. “Kamu sedang berusaha menghibur aku, ya? Tadi presentasi hancur banget. Beberapa kali ngeblank dan banyak kali lihat contekan.”
“Nggak. Aku bukan laki-laki penghibur ya. Ini lagi muji kok. Kamu nggak lihat sih kemarin aku lebih hancur. Slide PPT-ku nggak bisa dibuka. Kamu sih nggak masuk, jadi nggak tau betapa paniknya aku.”
“Terima kasih pujiannya Azada. Tolong lupakan hal memalukan yang aku lakukan di ruangan ujian tadi. Anggap aja kamu nggak pernah lihat.”
Azada berdecak kemudian mengangguk. “Masuk gih. Habis ini berendam pakai air hangat, keramas, pesan makanan yang enak, terus tidur.”
Bukan Azada namanya kalau ucapannya tidak aneh. Ini bukan kos elit yang menyediakan fasilitas bathtub. Di kamar mandi saja masih pakai gayung bentuk love warna pink.
***
Bersyukur kos sedang sepi, jadi aku terbebas dari pertanyaan mengenai seminar. Tadi malam aku sudah mewanti-wanti bapak dan penghuni kos untuk tidak membuat perayaan seperti minggu lalu saat batal mengikuti seminar. Anggap saja tumpeng minggu lalu untuk hari ini.
Aku langsung merebahkan tubuh tanpa mengganti pakaian. Aku hanya ingin meluruskan punggung sekarang dan tidur sampai besok.
Kepalaku masih penuh dengan ingatan kejadian tadi. Sudah berusaha melupakan sampai menyalakan musik dengan volume full lewat headset, tetapi tidak bisa. Mataku melirik ke arah map merah yang teronggok di lantai, mengingatkan dengan revisi yang menumpuk. Butuh waktu berapa lama aku harus revisi, belum lagi penelitian, dan melanjutkan bab empat.
Tanpa terasa aku jatuh tertidur sampai ketukan dan teriakan menyadarkanku. Rupanya ada Helda, Mbak Reni dan seorang anak baru yang belum diketahui namanya berdiri di depan kamarku dengan wajah cemas.
“Mbak maaf ganggu waktu tidurnya. Mau minta tolong, bisa bantu ganti lampu kamar, nggak? mau bangunin Pak Ruslan, tapi nggak enak,” pinta Mbak Reni dengan raut memohon.
Aku menguap lebar dan mengangguk dengan wajah kusut. Sebagai orang yang memiliki postur tubuh paling tinggi di kos, membuatku selalu dijadikan tumbal untuk mengganti lampu di kamar kos, kalau Pak Ruslan tidak bisa dimintai tolong seperti sekarang.