Seharusnya, setelah ujian tidak boleh menunda mengerjakan revisi, nanti akan malas untuk melanjutkannya. Namun, sudah dua hari aku tidak punya semangat untuk membuka lembar revisi proposal yang masih tersimpan di dalam map. Termasuk makan dan membalas pesan Azada juga malas aku lakukan. Pikiranku penuh dengan persoalan yang sedang Mama hadapi.
Aku melihat sekeliling kamar yang penuh dengan barang yang sudah melebihi kapasitas ruangan ini. Apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban Mama, apa sebaiknya mengemasi semua barang dan pulang saja. Aku sudah tidak peduli dengan gelar atau rasa malu kalau gagal menyelesaikan pendidikan, ketika sampai di rumah nanti.
“Azada, kamu bisa ke kosanku?” Aku bertanya setelah Azada menjawab panggilan.
“Dua hari ini kemana aja, Sis. Telepon dan semua pesanku nggak kamu balas. Diriku mencemaskanmu,” cecar Azada.
“Aduh, kamu jangan mulai deh. Lagi pusing ini. Pokoknya sebentar temui aku!” seruku sedikit terpancing emosi dan langsung memutus panggilan.
Lima menit berlalu, aku membuka aplikasi berkirim pesan dan mengetikan permintaan maaf kepada Azada. Gara-gara pikiran yang sedang kacau, aku mengambil keputusan keliru dan Azada harus menerima kemarahanku. Seharusnya aku yang menemuinya bukan sebaliknya.
Sore harinya Azada sudah ada di kos dengan membawa kantong plastik bertuliskan nama salah satu toko kue brownies yang terkenal enak.
“Dua hari yang lalu kamu ulang tahun ‘kan?” Azada membuka kantong plastik dan mengambil satu potong kue di dalam kotak.
“Tau dari mana?” Aku ikut mengambil satu potong brownies.
“Aku lihat di story-nya Helda. Makanya aku telepon kamu mau ajak keluar.”
“Aku nggak punya uang, kalau kamu berharap ditraktir. Teman kos aja, nggak aku traktir. Padahal mereka udah baik banget nyiapin kue ulang tahun sama hadiah.”
Azada mendorong kepalaku pelan. “Aku yang traktir kamu. Suka gitu emang berprasangka buruk sama orang.”
Aku tertawa menanggapi gerutunya. “Zada, makasih banyak ya, udah baik banget. Aku nggak pernah menyangka kita bisa sedekat ini. Berkat kamu yang mengacaukan hidupku sejak sebulan lalu, aku jadi punya semangat untuk menyelesaikan skripsi.” Aku terkekeh kemudian melanjutkan dengan raut wajah berubah murung. “Aku udah ambil keputusan mau balikin laptop yang kamu pinjamkan karena aku mau pulang.” Aku tak berani menatapnya.
“Kamu jangan gitu dong. Tinggal satu langkah lagi udah selesai, ingat ya laptop itu aku pinjamkan sampai selesai jilid skripsi. Nggak ada ceritanya balikin sekarang,” protes cowok itu.
“Mamaku baru cerita kalau usaha keluarga bangkrut. Uang di rekening juga menipis. Aku kasihan orang tua harus berkorban banyak. Semangatku udah nggak ada lagi untuk melanjutkan skripsi.” Aku malu karena harus mengakui keadaanku saat ini.
“Aku pinjamkan kamu uang. Nanti balikinnya waktu udah kerja aja.”
“Nggak. Mending aku pulang daripada harus berutang lagi sama kamu.” Aku menolak tegas ide itu.
Aku diam lalu merenung sebentar sambil mengelus dagunya. “Eh, kamu pernah cerita kalau masih punya banyak barang yang menumpuk di kamar dan belum kamu pakai sama sekali ‘kan?” Dia menepuk tangan satu kali seperti baru saja menemukan ide cemerlang setelah aku mengangguk.
“Kamu jual aja barang-barang itu.”