Azada tidak mau rugi. Dia meminta ‘bayaran’ atas jasanya menjual habis pakaian dan sepatuku. Katanya aku tidak boleh membantah apa pun perintahnya hari ini. Di mulai dari sebelum berangkat dia menyuruhku membawa pakaian ganti. Berlanjut setelah selesai mengantar paket kepada para pembeli yang mayoritas di kampus bening, sehingga jam 9 pagi kami sudah selesai.
Setelah itu dia melajukan mobilnya ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Ternyata cowok ini mengajak ke sebuah air terjun yang belum pernah aku kunjungi karena tempatnya termasuk agak terpencil, tetapi akses jalan raya menuju tempat ini sudah bagus. Dia menipuku, katanya jarak dari parkiran hanya sepuluh menit, tapi nyatanya membuatku mengomel sepanjang jalan karena sudah 45 menit berjalan dengan jalanan yang menanjak. Namun, tidak kunjung menemukan air terjunnya.
“Jangan-jangan kita nyasar? Kamu yakin ini jalan yang benar menuju air terjun? Aku lapar tau. Azada … jangan diam aja. Jawab dong!” seruku sambil memukul menyalurkan emosi pada dahan pohon yang berada di antara jalan setapak.
“Kita nggak nyasar. Sebentar lagi udah sampai, nikmati perjalanannya aja kali. Nih, lihat pemandangannya bagus.” Azada balik kiri dan menunjuk panorama indah di depan.
Aku memutar tubuh mengikuti arah telunjuknya. Reflek membuka mulut menyadari indahnya hamparan pepohonan, bukit dan sedikit kabut karena tempat ini berada di ketinggian dengan suhu yang mulai dingin. Akibat fokus dengan perjalanan yang melelahkan membuatku melewatkan lukisan alam yang indah ini.
“Kalau diingat-ingat, aku hanya jalan kaki sepuluh menit udah nyampe kok, itu sekitar dua tahun lalu aku ke tempat ini. Mungkin akibat banjir bandar tahun lalu, bikin air terjunnya mundur sampai jauh ya,”ujarnya santai setelah sepuluh menit hening di antara kami.
Aku menjitak kepalanya. “Mana ada? Kamu ke air terjun yang lain mungkin. Aduh, Azada … harusnya aku di kos aja, tidur, makan. Mimpi buruk apa aku semalam sampai---”
“Percaya sama aku. Sedikit lagi kita udah sampai. Ayooo, semangat Arosa Maharani.”
Kami masih menelusuri jalanan yang dikelilingi pepohonan rimbun. Di sebelah kanan terdapat selokan dengan air yang sangat jernih. Rasanya aku ingin berendam karena sudah sangat gerah. Jalanan mulai menanjak dan lebih licin. Berkali-kali aku hampir terjatuh. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka sepatu dan berjalan dengan kaki telanjang.
“Lain kali kasih tau kalau akan ke tempat kayak gini. Sepatuku rusak pasti,” omelku.
“Diam, deh! Berisik banget sih. Semakin kamu mengomel, semakin kamu capek.”
Suara air terjun semakin dekat, berkali-kali aku disemangati oleh Azada dan beberapa orang yang melewati kami akibat aku yang jalan sangat lambat. Rasanya ingin menyerah, tetapi sayang sudah jalan sejauh ini dan memilih kembali. Aku tidak mau tenagaku sia-sia.
“Ros, cepat. udah sampai!” Azada yang sudah berjalan lebih dulu melambai padaku.