Jalan Masih Panjang

Nona Adilau
Chapter #16

16. Arosa yang Terkena Serangan Panik

Proposal skripsiku sudah dijilid dan sekarang siap untuk melanjutkan bab empat yang berisi “Hasil dan Pembahasan”. Untung aku mengambil judul yang hanya perlu mengambil data penelitian dari laporan keuangan perusahaan publik, yang bisa aku download lewat situs resmi Bursa Efek Indonesia. Sekarang masalahnya adalah aku harus menggunakan aplikasi untuk mengolah data statistik yang tidak aku pahami sama sekali. Menyesal dulu malas-malasan ikut mata kuliah Metodologi Penelitian.   

“Aku harus gimana, Azada?” sungutku menelungkup kepala di meja.

“Buka Utube cari ‘cara mengolah data skripsi menggunakan SPSS’. Usaha dulu sebelum kamu mengeluh. Jangan jadi perempuan pemalas,” cecar Azada menjewer telingaku.

Aku berteriak kesakitan dan mengundang perhatian para pengunjung kantin. Sejak pulang dari air terjun dan kami semakin intens bertemu untuk sama-sama kerja revisi proposal, dia semakin ringan tangan menghajarku, walaupun pukulannya tidak sakit. Aku juga tidak akan diam saja ketika dia bertindak seenaknya.

“Rasain!” seruku puas ketika dia meringis karena aku balas menyentil dahinya.

“Numpang duduk di sini ya.” 

De javu. Aku mendongak kepala dan melihat dosen muda yang tiap kali aku melihatnya masih ada rasa kesal di hati, langsung menempati kursi kosong di sebelah Azada tanpa menunggu salah satu dari kami mempersilahkannya duduk.

“Pak, kok suka makan di kantin atau di warung murah luar kampus?” tanyaku penasaran.

“Ada yang salah?” balasnya balik bertanya dengan raut wajah datar.

Aku memutar bola mata kesal dan kembali fokus pada tulisan yang ada di layar laptop. Aku hanya menemani Azada makan di sini, tadi sebelum ke kampus aku sudah makan masakan yang aku buat sendiri demi bisa lebih hemat. 

“Pak Paris ini orangnya pelit … eh, maksudnya hemat banget.” Azada bukannya takut, malah tertawa keras setelah mendapat pelototan tajam dari pria di sampingnya.

“Memang nggak boleh hidup hemat? Saya suka makanan di sini maupun di warung luar kampus. Siapa sih yang nggak suka makan makanan enak dan murah.” 

“Boleh aja sih. Justru bagus Pak kasih contoh yang baik untuk mahasiswa kalau punya pekerjaan yang bagus di mata banyak orang, nggak menjadikan Pak Paris menaikan gaya hidup,” sambungku menahan senyuman. Dia menatapku sebentar kemudian ujung bibir kanannya terangkat sangat tipis.

Senyum lebar juga nggak apa-apa sih, Pak. Wibawamu nggak akan jatuh kok, sindirku dalam hati.

Di tengah menikmati makanannya, Pak Paris bertanya mengenai progres skripsi kami dan tumbennya dia tidak nyinyir. Malah memberikan semangat dan menawarkan bantuan kalau kami kesulitan. Aku yang sudah tidak tahu malu ini, langsung meminta Pak Paris membantuku mengolah data penelitian.

Lihat selengkapnya